SYARAT PERTAMA Keridhaan Kedua Belah Pihak – Dalil persyaratan ini disebutkan dalam firman Allah I: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kailan saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali de-ngan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (An-Nisa`: 29) Juga dalam sabda Rasulullah n: “Sesungguhnya jual beli itu dengan keridhaan.” Akal yang sehatpun menerima persyaratan ini.
- Arena jika tidak ada persyaratan ini, maka masing-masing orang akan saling mendzalimi dan bertindak melampaui batas terhadap orang lain.
- Masalah 1: Jual beli orang yang dipaksa Jumhur ulama berpendapat bahwa jual beli orang yang dipaksa hukumnya tidak sah.
- Mereka berhujjah dengan ayat dan hadits di atas, juga dengan hadits berikut: “Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku tindakan kesalahan, kealpaan, dan keterpaksaan.” (HR.
Ibnu Majah 2045 dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubra 7/356-357 dari Ibnu ‘Abbas c dengan sanad hasan karena banyak penguatnya. Lihat Nashbur Rayah, 4/64-66, dan Al-Maqashidul Hasanah hal.369-371, no.528) Termasuk faedah dalam bab ini adalah jual beli seseorang karena malu, sebab tidak terwujud persyaratan keridhaan padanya.
Masalah 2: Jual beli orang yang bergurau Misalnya, ada orang bergurau dengan orang lain, dia berkata: “Saya jual mobilku kepadamu dengan harga Rp.500 ribu.” Jual beli seperti ini tidak sah, karena tidak ada niatan jual beli dan juga tidak ada keridhaan dari sang penjual. Kita bisa mengetahui sang penjual sedang bergurau dengan qarinah (tanda/bukti-bukti).
Bila tidak ada tanda-tanda gurauan, maka jual belinya sah. Sang penjual harus bisa mendatangkan bukti-bukti yang kuat bahwa dia tengah bergurau. Masalah 3: Jual beli dengan orang yang tengah membutuhkan (uang) Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang masalah ini:
- Jumhur ulama berpendapat, jual beli seperti ini sah namun makruh. Sebab, umumnya orang yang sedang butuh akan menjual barangnya dengan harga murah.
- Al-Imam Ahmad, dikuatkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani, berpendapat, haram hukumnya jual beli dengan orang yang sedang butuh. Beliau berhujjah dengan hadits: “Rasulullah melarang jual beli orang yang sedang butuh.”
- Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah) berpendapat, jual belinya sah tanpa ada hukum makruh. Sebab, jika dilarang mem-beli barang orang yang tengah membutuh-kan tadi, justru akan menambah mudharat (kesusahan) bagi yang bersangkutan.
Yang rajih (pendapat yang kuat), insya Allah, adalah pendapat Ibnu Taimiyyah. Karena, hadits yang dijadikan hujjah untuk melarang sanadnya dha’if. Hadits itu diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Abu Dawud dan Al-Baihaqi, dari jalan seorang syaikh dari Bani Tamim, dari ‘Ali bin Abi Thalibz.
- Sanad ini di-dha’if-kan karena tidak diketahui siapa syaikh di atas.
- Meski ada penguat lain dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yamanz, yang diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, namun dalam sanadnya ada perawi yang bernama Kautsar bin Hakim, di mana dia matruk (ditinggalkan hadits–nya).
- Sanadnya juga terputus antara Makhul dan Hudzaifah.
Wallahu a’lam. Ijab Qabul dalam Jual Beli Termasuk dalam persyaratan pertama ini adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan ijab qabul. Ijab adalah ucapan penjual: “Saya jual”, sedangkan qabul adalah ucapan pembeli: “Saya terima.” Masalah 4: Apakah disyaratkan lafadz-lafadz tertentu dalam jual beli? Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:
- Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan satu pendapat dalam madzhab Ahmad: Tidak sah jual beli kecuali dengan lafadz ijab dan qabul. Mereka beralasan bahwa ridha adalah perkara batin, dan kita tidak mungkin tahu adanya keridhaan dengan semata-mata perbuatan tanpa lafadz. Diamnya sang penjual terkadang karena kelalaiannya, dianggap akadnya main-main, atau diam untuk melihat sejauh mana sang pembeli mematok harganya. Yang mendekati pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hazm: Tidak sah kecuali dengan lafadz “Saya jual” atau “Saya beli”.
- Pendapat Abu Hanifah, satu pendapat dalam madzhab Ahmad, dan satu sisi pendapat Syafi’iyah: Jual belinya tetap sah dengan tindakan tanpa lafadz tertentu dalam perkara-perkara yang sering terjadi padanya jual beli, dengan ketentuan barangnya remeh, tidak besar, atau mahal. Menurut mereka, jual beli barang yang besar atau mahal tidak sah kecuali dengan lafadz ijab dan qabul.
- Pendapat Malik, Ahmad, sejumlah ahli tahqiq dari kalangan Syafi’iyah, seperti Ar-Ruyani. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ash-Shan’ani, dan Asy-Syaukani: Jual beli sah dengan apa saja yang dianggap oleh masyarakat sebagai jual beli, baik dengan lafadz atau dengan perbuatan.
Pendapat inilah yang rajih, sebab masalah ini tidak ditentukan batasannya secara syar’i atau bahasa Arab. Sehingga dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat setempat. Kaidah umum menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak ditentukan batasannya secara syar’i atau bahasa, maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.
- Masalah 5: Bila masalah di atas telah dipahami, jual beli mu’athah yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqh adalah sah.
- Gambaran mu’athah adalah: Pembeli memberikan uang kepada penjual dan mengambil barang tanpa lafadz ijab qabul.
- Mu’athah ini bisa dari sang penjual.
- Misalnya, pembeli berkata: “Apakah kamu menjual barang ini kepadaku dengan harga sekian?” Lalu penjual memberikan barang-nya tanpa mengucapkan lafadz: “Saya terima.” Mu’athah juga bisa dari sang pembeli.
Misalnya, sang penjual berkata: “Maukah kamu membeli barang ini dengan harga sekian?” Lalu sang pembeli mengeluarkan uang dan mengambil barang tadi tanpa lafadz ijab qabul. Masalah 6: Bila sang pembeli berkata kepada penjual dalam bentuk pertanyaan: “Apakah engkau menjual barangmu ini?” Lalu penjual mengatakan: “Saya terima.” Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa akad ini tidak sah, karena tidak diketahui keridhaan sang pembeli.
- Demikian yang dinukilkan Ibnu Qudamah dan yang lainnya.
- Masalah 7: Jual beli dalam bentuk janji Misalnya, sang penjual berkata: “Maukah engkau membeli barang ini dengan harga sekian?” Pembeli berkata: “Nanti akan saya beli.” Janji seperti ini tidak dianggap sebagai akad jual beli, bagaimanapun bentuknya.
Penjual tidak diharuskan menyimpan barang tadi (artinya dia boleh menjualnya kepada orang lain). Pembeli pun tidak diharuskan membeli barang tadi, walaupun telah menyerahkan DP (downpayment-, persekot/uang muka). Wallahu a’lam. Jual Beli Menggunakan Alat-alat Modern Masa Kini Termasuk dalam bab ini adalah jual beli dengan piranti masa kini.
Masalah 8: Jual beli lewat telepon Al-Imam An-Nawawi pernah menyebutkan satu masalah: Jika ada dua orang yang saling berbicara dari tempat jauh, satu sama lain tidak saling melihat, yang terdengar hanyalah suaranya saja dan pembicaraannya adalah masalah akad jual beli, maka akadnya adalah sah. Demikian pula lewat telepon.
Dengan syarat, aman dari penipuan suara. Jika terjadi penipuan, maka dikembalikan kepada kaidah-kaidah umum jual beli. Masalah 9: Jual beli lewat telegram, faksimili, atau Short Message Service (SMS) masalah ini masuk dalam permasa-lahan jual beli lewat tulisan yang diper-bincangkan para fuqaha.
- Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak boleh. Karena adanya kemungkinan penipuan, kecuali bagi yang tidak mampu seperti orang bisu.
- Kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan pendapat sejumlah ahli tahqiq dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah, bahwa jual belinya tetap sah, bila kedua belah pihak saling mempercayai dan aman dari penipuan. Umumnya, alat-alat ini sendiri terpercaya di kalangan masyarakat.
Pendapat inilah yang rajih (kuat). Karena yang dimaksud dalam jual beli adalah keridhaan. Dan keridhaan bisa dengan lafadz atau perbuatan, seperti tulisan. Allah I memerintahkan kita untuk menulis hutang piutang dan mendahulukan tulisan daripada gadai, dalam firman-Nya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (Al-Baqarah: 283) Perhatian: Ini semua dengan satu syarat penting, yakni barang-barang yang dibeli tidak termasuk barang-barang yang disyaratkan harus diserahterimakan di tempat.
Pembahasan masalah ini, insya’ Allah, dalam bab Riba. Faedah: Saya (penulis) pernah bertanya kepada Syaikhuna (guru saya) Abu Abdillah Abdurrahman Mar’i Al-‘Adani hafizhahu-llahu wa syafaahu sewaktu di Yaman, di Masjid Mazra’ah perumahan keluarga di Dammaj, tentang masalah jual beli lewat internet (secara on line).
Beliau menjawab (secara makna): “Tidak apa-apa, selama barang yang dibeli tersebut tidak termasuk barang yang harus diserah-terimakan di tempat.” Wallahu a’lam.
Lihat jawaban lengkap
bagaimana seandainya dalam kegiatan jual beli tidak ada uang? Tidak akan terjadi perdagangan atau jual beli karena salah satu syarat jual beli adalah adanya uang atau sesuatu yang dijadikan alat pembayaran.
mungkin bisajadi menggunakan barter, karena orang zaman dahulu sebelum adanya uang, mereka menggunakan barter
Mungkin menggunakan barter : bagaimana seandainya dalam kegiatan jual beli tidak ada uang?
Lihat jawaban lengkap
Contents
Apa yang terjadi jika tidak ada uang?
Diganti dengan Emas dan Perak – Bahan dasar uang saat ini adalah kertas, alumunium, kuningan, dan nikel. Namun, apabila uang tidak ditemukan, maka yang bisa menggantikannya adalah logam mulia seperti emas dan perak. Penggunaan emas dan perak sebagai alat transaksi lebih menguntungkan karena memiliki nilai yang sama di semua negara.
Lihat jawaban lengkap
Bagaimana cara kita kembali pada kehidupan sebelum ada uang?
Transaksi dengan Cara Barter – Barter atau tukar menukar barang dengan barang lainnya sudah menjadi cara bertransaksi sejak beribu tahun lalu saat tidak ada uang. Meskipun ada kesulitan untuk menentukan harga pada masing-masing barang. Sistem ini memiliki sisi positif, yakni dapat menjaga nilai barang tetap stabil.
Misalnya jika dahulu harga satu kilogram telur setara dengan satu kilogram beras, maka nilainya tetap sama hingga saat ini atau 10 tahun kedepan. Akan tetapi, sistem barter ini juga memiliki kelemahan, loh. Barter tidak memiliki aturan pakem tentang pertukaran barang tersebut. Barter dapat terjadi apabila kedua pihak setuju.
Inilah yang menyebabkan peradaban sulit untuk maju karena masyarakat akan enggan untuk berusaha.
Lihat jawaban lengkap
Apakah uang itu segalanya?
Uang bukanlah segalanya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada yang dapat dilakukan pada jaman sekarang tanpa kehadiran uang. Keberadaan uang begitu perkasa sehingga bisa mengubah watak pribadi dan moral seseorang hingga tatanan perpolitikan suatu negara.
Sulit dibayangkan alasan mengapa selembar kertas bisa dianggap memiliki nilai yang sama dengan seekor kambing, misalnya, atau sebuah layar televisi. Adalah kepraktisan, keamanan dan kemudahan seseorang untuk mengakumulasikan modal dan kekayaan yang dimilikinya lah yang merupakan dasar kelahiran dan digunakannya uang dalam kehidupan perekonomian masyarakat modern.
Seiring dengan perkembangan jaman, uang tetap memiliki peran yang sama meski mengalami perubahan bentuk. Indikator dan alat tukar yang tadinya memiliki bentuk fisik tersebut sekarang ini mewujud sebagai suatu entitas digital yang nyaris kasat mata. Hal ini membuat uang semakin perkasa karena bisa sanggup melampaui batasan fisik yang menjadi kendala selama 2 dekade terakhir, misalnya.
Tak ayal lagi, kondisi semacam ini meningkatkan kesenjangan perekonomian antar belahan dunia. Mereka yang kaya menjadi semakin kaya, sementara yang miskin terpaksa merelakan diri untuk menjadi kian miskin. Fakta perekonomian semacam ini membuat orang mulai mempertanyakan arti penting dan kegunaan uang – karena banyak orang merasa telah diperbudak oleh uang itu sendiri.
Segelintir gerakan, yang oleh sebagian besar ekonom kapitalis dipandang sebagai gerakan anti-ekonomi modern, berupaya menghilangkan peran uang dan beralih pada sistem yang berdasarkan barter. Mereka memandang sistem barter lebih manusiawi dan lebih mendekatkan diri pada alam – karena perekonomian modern cenderung semena-mena dan merusak alam.
Terlepas dari itu semua, bukan hal yang mudah untuk membayangkan sebuah kondisi dimana tidak ada uang di dunia ini, dan segala hal yang sifatnya transaksional dilakukan dengan cara barter. Tapi, apa kira-kira yang bakal terjadi jika kondisi semacam ini benar-benar terlaksana? Berikut kira-kira yang bakal kita alami dalam kehidupan keseharian: 1.
Tidak ada lagi apa yang namanya barang mewah Jika uang tidak ada dan semuanya berbasis barter, maka kita akan bebas melakukan apa saja, pergi ke mana saja dengan frekuensi yang kita mau. Kita tidak memerlukan uang untuk membeli barang, berkelana dan mengunjungi teman atau saudara, atau untuk memiliki sesuatu.
- Tidak ada lagi yang namanya barang mewah atau golongan elit karena kita semua kaya.2.
- Semua orang punya kekayaan yang unik Karena tidak ada uang, maka kita tidak ada alasan untuk memelihara batasan antara yang kaya dan yang miskin.
- Dengan begitu, masing-masing dari kita memiliki berbagai barang dengan jumlah yang sama pada akhirnya.
Satu-satunya hal yang membuat kita kaya adalah cinta dan kasih sayang.3. Angka perceraian bakal turun drastis ‘Ada uang abang disayang, tiada uang abang ditendang’ bukan sekedar guyonan di tengah dunia yang kian kapitalis ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu penyebab utama perceraian dan perpisahan rumah tangga adalah karena kurangnya uang yang dimiliki.
- Dengan demikian, ketiadaan uang dan keberadaan sistem barter akan menghilangkan kecemasan semacam itu.
- Pasangan suami istri tidak lagi perlu adu mulut karena simpanan uang yang menipis.4.
- Transfer kekayaan menjadi sulit dan nyaris tak mungkin dilakukan Ketiadaan uang membuat orang sulit untuk melakukan transaksi secara ‘normal’.
Adalah tidak mungkin untuk membawa satu karung jagung agar bisa menonton bioskop, misalnya. Juga, belum tentu orang yang kita ingin ajak barter memerlukan barang yang kita miliki. Ketiadaan uang memang melegakan, namun itu juga membuat orang kesulitan untuk mentransfer kekayaan.5.
Esulitan menagih pajak dan mengumpulkan pajak Ketika uang tidak lagi menjadi alat tukar dan indikator kekayaan seseorang, maka sangat sulit bagi pemerintah untuk menagih pajak serta mengumpulkan pajak dari masyarakat. Andaikata mungkin sekali dilakukan, maka bagaimana cara pemerintah atau negara menyimpan ribuan ton kayu jati atau puluhan kontainer ikan laut jika kekayaan masyarakat disimpan dalam bentuk seperti itu? 6.
Hidup tak lagi rumit Tidak bisa dipungkiri, perekonomian kapitalis menjadikan uang sebagai dasar segala bentuk kejahatan. Dengan menyingkirkan uang, maka kita berhasil mengusir dalih utama orang untuk berbuat rakus, untuk dianggap memiliki eksistensi lebih dari yang lain, dan hal sejenis.7.
- Orupsi dan koruptor bakal sirna Ketiadaan uang sebagai indikator kekayaan dan cara seseorang untuk menyimpan kekayaan membuat koruptor dan perilaku korup tidak bisa berkembang biak.
- Tidak butuh waktu lama untuk menghapus korupsi jika barter diberlakukan karena tidak mungkin seseorang betah menyimpan ratusan berlian, misalnya, tanpa ‘memperdagangkannya’ dengan rempah-rempah atau bahan makanan.8.
Terwujud perdamaian di seluruh dunia Penyebab utama perang saudara, invasi ke negara lain, dan juga tidak meratanya pembangunan adalah hasrat untuk menguasai sumber perekonomian (baca: sumber pundi uang). Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa keinginan untuk menguasai sumber daya alam negara lain merupakan dasar rusaknya kerja sama politik, ekonomi dan sosial budaya antar negara di dunia.
Di Dunia Cuma Ada Satu Mata Uang Tunggal? Apa yang Akan Terjadi? Bahaya Deflasi dan Akibat Deflasi Bagi Ekonomi 5 Cara Aneh untuk Menjadi Milyader Apakah Kita Hidup untuk Uang?
Demikianlah artikel tentang yang akan terjadi jika tidak ada uang dan jual beli dengan barter, semoga bermanfaat bagi Anda semua.
Lihat jawaban lengkap
Apa itu jual beli?
Hati-hati, Jual Beli Tidak Sah Jika Tidak Penuhi Beberapa Syarat Ini MANUSIA saling membutuhkan satu sama lain. Terutama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari kebutuhan inilah terjadi interaksi yang saling menguntungkan atau disebut dengan praktik jual beli.
- Jual beli merupakan salah satu interaksi seseorang dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.
- Dimana sang penjual menawarkan barangnya agar bisa memperoleh materi.
- Dan sang pembeli bisa memperoleh barang yang dibutuhkan.
- BACA JUGA: Nah, sebagai seorang muslim, melaksanakan jual beli tidak bisa sembarangan.
Sebab, ada syarat-syarat khusus yang memperolehkan terjadinya jual beli. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka boleh jadi jual beli itu tidak sah atau bertentangan dengan syariat Islam. Lantas, apa saja syarat-syarat dalam jual beli? Dilansir dalam muslim.or.id, berikut beberapa syarat sah jual beli -yang dirangkum dari kitab Taudhihul ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktik jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.
Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktik jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu: a. Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan. Allah Ta’ala berfirman, ” janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian” (QS.
An-Nisaa’: 29).b. Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktik jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang). Sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal.92).
Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih (tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu untuk membedakan transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga dirinya rentan dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya.
Kedua, yang berkaitan dengan objek/barang yang diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu: a. Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.b.
Objek jual beli merupakan hak milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu,” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly).
Seseorang diperbolehkan melakukan transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik memberi izin atau ridha terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi tolok ukur dalam perkara muamalah adalah ridha pemilik. (Lihat Fiqh wa Fatawal Buyu’ hal.24).
- Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi SAW terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau memerintahkannya untuk membeli kambing untuk beliau. (HR.
- Bukhari bab 28 nomor 3642) c.
- Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya.
Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan. BACA JUGA: d. Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar.
Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar,” (HR. Muslim: 1513). Selain itu, tidak diperkenankan seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual beli.
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya,” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali).
Lihat jawaban lengkap