Mengganti Barang Pinjaman Yang Telah Dihilangkan Hukumnya Adalah?

Mengganti Barang Pinjaman Yang Telah Dihilangkan Hukumnya Adalah
Apabila barang pinjaman hilang, maka peminjam wajib.#TolongDiJawab​ Jawaban : Apabila barang pinjaman hilang, maka peminjam wajib bertanggung jawab atas hilangnya barang pinjaman tersebut. Dengan cara mengganti dan meminta maaf pada pemilik barang.

Jawaban:meminta maaf dan bertanggung jawab atas kesalahan yang ia lakukan. contoh: menggantikan barang yang hilang Penjelasan:maaf kalau ada kesalahan ^w^

: Apabila barang pinjaman hilang, maka peminjam wajib.#TolongDiJawab​
Lihat jawaban lengkap

Bagaimana hukum dasar pinjam meminjam barang perlukah mengganti Jika barang yang dipinjam itu rusak?

Hukumnya ada tiga, pertama; wajib mengganti. Jika barang pinjaman rusak di tangan peminjam, maka dia wajib menggantinya, baik rusak karena alamiah atau karena perbuatan peminjam sendiri, dengan sembrono atau tidak sembrono. Ini adalah pendapat yang masyhur.
Lihat jawaban lengkap

Apa hukum asal dari pinjam meminjam?

Hukum asal pinjam meminjam adalah sunah, tetapi dapat berubah menjadi wajib atau haram.
Lihat jawaban lengkap

Bolehkah si peminjam memanfaatkan barang yang dipinjam?

Peminjam boleh memanfaatkan barang yang dipinjam asalkan barang yang dipinjam tersebut dikembalikan dalam keadaan utuh.Karena sikap tidak mau meminjamkan adalah salah satu bentuk kikir (pelit). Kikir adalah sikap yang dilarang oleh agama Islam, karena agama Islam menjunjung tinggi nilai tolong menolong.Hukum asal pinjam meminjam adalah sunah. Tetapi dapat menjadi wajib misalnya meminjamkan kendaraan untuk mengantarkan orang yang sedang sekarat, jika tidak dipinjamkan nyawa seseorang akan hilang. Hukum pinjam meminjam juga dapat menjadi haram misalnya meminjamkan kendaraan untuk membantu proses perampokan bank. Seorang peminjam barang tidak boleh meperlakukan barang yang dipinjam sesuka hatinya. Tetap ada batasan-batasan yang harus diperhatikan. Misalnya saja dalam meminjam buku, peminjam tidak boleh sembarangan melipat halaman dalam buku tersebut.Manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan lemah. Oleh karena itu dalam hidupnya, seorang manusia pasti membutuhkan manusia lainnya, maka disebutlah manusia adalah makhluk sosial, Hal inilah yang menjadikan manusia tidak bisa terlepas dari meminjam sesuatu kepada manusia lainnya.

Lihat jawaban lengkap

Apa itu hukum ariyah?

Para ulama berpendapat bahwa ‘ ariyah adalah suatu hak untuk memanfaatkan suatu barang yang diterimanya dari orang lain tanpa imbalan dengan ketentuan barang tersebut tetap utuh dan pada suatu saat harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Lihat jawaban lengkap

Kapan pinjam meminjam hukumnya berubah menjadi wajib?

Hukum Pinjam Meminjam dalam Islam: – Menurut Syekh Abu Bakar Jabir al Jaza’iri hukum pinjam meminjam atau ‘Ariyah adalah disyariatkan. Ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Quran surat Al Maidah ayat 2: ADVERTISEMENT SCROLL TO RESUME CONTENT وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ “Dan tolong-menolong lah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.

  • Diriwayatkan dalam hadits Imam Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
  • وَ اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ
  • “Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya”.

Kemudian, hukum pinjam meminjam bisa menjadi wajib apabila orang yang meminjam itu sangat memerlukannya. Contohnya, seperti meminjam pisau untuk memotong kambing yang mendekati mati atau pakaian untuk menutup aurat. Namun, hukum pinjam meminjam bisa menjadi haram ketika seseorang melakukan kegiatan tersebut untuk hal-hal yang dilarang.

  1. Orang yang meminjamkan, disyaratkan:
  2. – Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi. Orang yang dipaksa atau anak kecil tidak sah meminjamkan-Barang yang dipinjam itu milik sendiri atau menjadi tanggungjawab orang yang meminjamkannya
  3. Orang yang meminjam, disyaratkan
  4. -Berhak menerima kebaikan. Oleh karena itu, orang gila atau anak kecil tidak sah meminjam-Hanya mengambil manfaat dari barang yang dipinjam
  5. Barang yang dipinjam, disyaratkan
  6. -Ada manfaatnya-Barang bersifat kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh karena itu, makanan yang habis tidak sah bila dipinjam
  7. Akad pinjam meminjam

Kegiatan pinjam-meminjam berakhir bila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya. Sehingga barang tersebut harus dikembalikan kepada pemiknya. Selain itu, kegiatan ini juga bisa berakhir apabila salah satu dari keduanya meninggal dunia atau gila. Atau karena pemiliknya meminta barang sewaktu-waktu, sebab, kegiatan ini sifatnya tidak tetap.
Lihat jawaban lengkap

Bagaimana jika barang yang kita pinjam rusak atau hilang apa yang akan kita lakukan?

Apabila barang pinjaman hilang, maka peminjam wajib.#TolongDiJawab​ Jawaban : Apabila barang pinjaman hilang, maka peminjam wajib bertanggung jawab atas hilangnya barang pinjaman tersebut. Dengan cara mengganti dan meminta maaf pada pemilik barang.

Jawaban:meminta maaf dan bertanggung jawab atas kesalahan yang ia lakukan. contoh: menggantikan barang yang hilang Penjelasan:maaf kalau ada kesalahan ^w^

: Apabila barang pinjaman hilang, maka peminjam wajib.#TolongDiJawab​
Lihat jawaban lengkap

Apa saja kewajiban bagi peminjam terhadap barang yang dipinjam?

Kewajiban dari peminjam adalah mengembalikan barang yang dipinjam dalam jumlah dan keadaan yang sama dan pada waktu yang telah diperjanjikan berdasarkan dalam Pasal 1763 KUH Perdata.
Lihat jawaban lengkap

You might be interested:  Berikut Adalah Hal Yang Tidak Termasuk Dalam Fungsi Uang?

Apa hukum asal pinjam meminjam dan bisa berubah menjadi apa saja?

Suara.com – Saling meminjam barang menjadi bagian dari karakter tolong-menolong yang dibawa oleh setiap manusia. Menjadi hal yang lumrah karena terkadang manusia tidak bisa memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Hukum dan rukun pinjam meminjam dalam Islam juga sudah diatur sedemikian ketat.

Harapannya agar manusia senantiasa bertanggung jawab atas barang yang dipinjamnya. Jurnal yang termuat dalam repo.iain-tulungagung.ac.id memuat tentang hukum dan rukun pinjam meminjam dalam Islam. Dalam jurnal tersebut, meminjam diartikan sebagai membolehkan orang lain mengambil manfaat dari barang atau jasa dengan tidak merusak benda atau jasa tersebut.

Peminjam wajib mengembalikan pinjaman setelah diambil manfaatnya dalam keadaan tetap. Pinjam meminjam di dalam Islam adalah aktivitas yang boleh dilakukan berdasarkan kesepakatan orang yang meminjami maupun dipinjami, baik dengan cara mutlak atau tidak terikat waktu maupun dibatasi oleh waktu.

Dalam syariat Islam pinjam meminjam adalah akad atau perjanjian yang berupa pemberian manfaat dari suatu benda yang halal dari seseorang kepada orang lainnya tanpa adanya imbalan dengan tidak mengurangi ataupun mengubah barang tersebut dan nantinya akan dikembalikan setelah diambil manfaatnya. Baca Juga: Apa Penyebab Pinjol Ilegal Tumbuh Subur di Indonesia? Begini Kata Pengamat Asal hukum pinjam meminjam adalah sunah.

Pinjam meminjam ini setara dengan tolong menolong. Namun, bisa juga menjadi wajib seperti meminjamkan kain kepada orang yang membutuhkan pakaian. Kemudian bisa juga menjadi haram jika barang yang dipinjamkan adalah barang yang haram atau aktivitas pinjam-meminjam bertujuan untuk melakukan perkara yang haram.

  • Rukun Pinjam Meminjam dalam Islam Sebelum melakukan aktivitas pinjam-meminjam, terlebih dahulu perlu diperhatikan rukun pinjam meminjam berikut ini.1.
  • Orang yang Memberikan Pinjaman Orang yang memberikan pinjaman harus meminjamkan barang atas inisiatif pribadi dan tanpa paksaan.
  • Orang yang memberi pinjaman tidak boleh berasal dari golongan anak kecil, gila, atau tidak memiliki kecapakapan dalam mengelola harta.

Terakhir orang yang memberi pinjaman harus sudah memiliki manfaat atas barang yang dipinjamkan. Baca Juga: Layanan Dibuka, Polda Kaltim Terima Ratusan Laporan Korban Pinjol, Gimana Tuh? 2. Orang yang Mendapatkan Pinjaman
Lihat jawaban lengkap

Kapan pinjam meminjam dikatakan hukumnya sunah?

Fiqih Pinjam-meminjam – Muhammad Abdul Wahab, Lc Thu 23 August 2018 21:49 | 194616 views Bagikan lewat Islam sebagai agama yang syamil wa mutakammil (menyeluruh dan sempurna) mengatur segala aspek kehidupan, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia antar sesama. Yang diejawantahkan oleh para ulama dalam pembahasan fiqih mumalah.

  1. Salah satu bentuk interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari adalah kegiatan pinjam-meminjam.
  2. Egiatan yang sering dilakukan dalam keseharian hampir semua orang.
  3. Di saat setiap orang tidak selalu memiliki semua barang untuk memenuhi kebutuhannya, maka salah satu jalan keluarnya adalah dengan meminjamnya dari orang lain.

Apa saja ketentuan-ketentuan syariah yang berkaitan dengan kegiatan pinjam-meminjam? Apa saja hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi baik oleh peminjam maupun pemilik barang? A. Pengertian ‘Ariyah ‘Ariyah berasal dari kata i’arah yang berarti meminjamkan.

  1. Dalam istilah ilmu fiqih, para ulama mendefinisikan ‘ariyah dengan dua definisi yang berbeda.
  2. Ulama hanafiyyah dan malikiyyah mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut: تمليك منفعة مؤقتة بلا عوض “Menyerahkan kepemilikan manfaat (suatu benda) dalam waktu tertentu tanpa imbalan.” Sedangkan ulama Syafi’iyyah, Hanbilah dan Zahiriyyah, mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut: إباحة الانتفاع بما يحل الانتفاع به مع يقاء عينه بلا عوض “Izin menggunakan barang yang halal dimanfaatkan, di mana barang tersebut tetap dengan wujudnya tanpa disertai imbalan.” Masing-masing dari kedua definisi di atas menghasilkan konsekuensi hukum yang berbeda.

Hanfiyyah dan Malikiyyah menganggap bahwa ‘ariyah adalah penyerahan kepemilikan hak guna suatu benda dalam jangka waktu tertentu. Itu artinya, peminjam barang selama jangka waktu pinjaman berhak untuk meminjamkan atau menyewakan barang pinjamannya kepada pihak lain tanpa seizin pemilik barang.

Sebab dia dianggap memiliki hak guna barang tersebut. Sedangkan Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah memandang bahwa ‘ariyah hanya sebatas memberi izin untuk menggunakan barang, bukan memiliki hak guna barang tersebut. Sehingga peminjam tidak boleh meminjamkan atau menyewakan kepada pihak lain tanpa seizin dari pemilik barang.B.

Hukum Taklifi ‘Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada kondisi yang menyertainya. Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika peminjam ( musta’ir ) merasakan manfaat dari pinjaman tersebut dan tidak menimbulkan mudarat bagi pemilik barang ( mu’ir ).

  1. Ditambah, peminjam tidak menggunakan pinjamannya untuk tujuan maksiat atau hal-hal yang makruh.
  2. Meminjamkan barang juga bisa menjadi wajib, jika peminjam dalam keadaan darurat sedangkan pemilik barang tidak mendapatkan kemudaratan jika meminjamkannya.
  3. Contohnya, pada saat cuaca dingin ada orang yang telanjang, atau hanya memakai pakaian seadanya sehingga merasakan kedinginan.

Maka, jika ada orang yang bisa meminjamkan baju untuknya hukumnya menjadi wajib karena orang tersebut bisa saja meninggal atau terkena penyakit seandainya tidak dipinjami baju. Menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, pinjam-meminjam hukumnya bisa menjadi makruh, jika berdampak pada hal yang makruh.

  1. Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja kepada seorang kafir.
  2. Ariyah juga bisa menjadi haram jika berdampak pada perbuatan yang dilarang.
  3. Seperti meminjamkan senjata untuk membunuh orang, atau meminjamkan kendaraan untuk melakukan maksiat, dan lain-lain.C.
  4. Syarat Barang Pinjaman Suatu barang menjadi sah untuk dipinjamkan sebagai ‘ariyah, jika memenuhi dua syarat berikut: Pertama, barang tersebut bisa diambil manfaatnya tanpa harus memusnahkan atau menghabiskannya.
You might be interested:  Kapan Uang Bidikmisi Cair Tahun 2021?

Tidak sah disebut sebagai ‘ariyah jika yang dipinjamkan adalah barang yang habis pakai seperti makanan, sabun, lilin dan sebagainya. Meminjamkan barang yang habis pakai disebut dengan qardh. Kedua, barang yang dipinjamkan merupakan barang yang halal untuk dimanfaatkan dan tidak digunakan untuk tujuan yang diharamkan.D.

Hak dan Kewajiban Peminjam Ketika seseorang meminjam barang sedangkan pemiliknya tidak memberikan batasan-batasan atau ketentuan tertentu dalam pemakaiannya, maka peminjam boleh memakai barang tersebut untuk keperluan apa pun yang dibenarkan secara ‘urf (kebiasaan). Dengan kata lain, peminjam bebas menggunakannya untuk tujuan apa pun selama penggunaannya masih dalam batas kewajaran.

Hal ini senada dengan kaidah fiqih : المعروف عرفاً كالمشروط شرطاً “Sesuatu yang dianggap sebagai kebiasaan kedudukannya seperti syarat.” Contohnya, seseorang meminjam mobil sedan kepada temannya. Selama temannya itu tidak memberikan batasan atau ketentuan pemakaian, si peminjam boleh menggunakannya untuk keperluan apa pun, selama itu dianggap sebagai pemakaian wajar.

  • Contohnya dipakai untuk jalan-jalan, mengantar teman dan lain-lain.
  • Tetapi peminjam tidak boleh menggunakan mobil tersebut untuk mengangkut beras misalnya, atau mengangkut hewan qurban.
  • Arena, secara ‘urf hal tersebut sudah keluar dari batas kewajaran.
  • Jika pemilik barang memberikan syarat atau batasan-batasan tertentu dalam pemakaian barangnya, maka peminjam harus patuh terhadap syarat tersebut.

Jika tidak, si peminjam dianggap sebagai ghasib, Contohnya, pemilik mobil hanya memperbolehkan mobilnya dipakai di dalam kota, atau hanya siang hari, atau selama dua hari dan lain sebagainya. Maka peminjam tidak boleh menyelisihi apa yang disyaratkan oleh pemilik barang.E.

Waktu Pengembalian Barang Pinjaman Kapankah pemilik boleh mengambil kembali barangnya yang dipinjam? Apakah boleh mengambil sewaktu-waktu, atau hanya boleh mengambil pada waktu yang sudah disepakati? Dalam hal ini para ulama terbagi ke dalam dua pendapat.1. Pendapat Pertama Ulama dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan Zhahiriyyah memandang bahwa pemilik barang boleh meminta barangnya dari peminjam kapan pun dia mau.

Dengan syarat tidak menimbulkan mudarat bagi si peminjam.2. Pendapat Kedua Sedangkan Malikiyyah berpendapat, pemilik barang tidak boleh meminta barangnya kecuali setelah jangka waktu yang telah disepakati. Atau setelah jangka waktu yang sewajarnya, jika tidak ada ketentuan berapa lama batas waktu peminjaman dari pemilik barang.

Atau setelah barang pinjaman tersebut selesai digunakan untuk keperluan peminjam. Malikiyyah mendasari pendapatnya ini dengan perintah untuk melaksanakan akad atau perjanjian yang telah disepakati, sebagaimana tertuang dalam surat al-Maidah ayat 1 berikut ini: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” Juga atas dasar sabda Nabi Muhammad ﷺ : المسلمون عند شروطهم “Muslim itu terikat dengan syarat-syarat (yang disepakati di antara mereka).” F.

Barang Pinjaman Rusak, Apakah Peminjam Wajib Mengganti? Dalam kitab-kitab fiqih, para ulama mengaitkan masalah ini ke dalam pembahasan tentang status peminjam dalam kegiatan pinjam-meminjam ( ‘ariyah ) apakah sebagai yad amanah atau yad dhaman. Yad amanah adalah pihak yang berstatus hanya sebagai pemegang amanah dari pihak lain.

  1. Di mana jika terjadi hal yang tidak diinginkan pada amanah yang dipegangnya, dia terlepas dari tanggung jawab untuk mengganti selama hal tersebut tidak disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaiannya.
  2. Sedangkan yad dhaman adalah pihak yang berstatus sebagai penjamin terhadap barang milik orang lain.
  3. Di mana jika terjadi kerusakan atau kehilangan -apa pun alasannya- dia bertanggung jawab atas barang tersebut.

Dalam kegiatan pinjam-meminjam ( ‘ariyah ), para ulama berbeda pendapat, apakah peminjam berlaku sebagai yad amanah atau yad dhaman.1. Hanafiyyah, Riwayat Marjuh dari Imam Ahmad & Zahiriyyah Kelompok pertama yang diwakili oleh ulama dari kalangan Hanafiyyah, Zahiriyyah dan riwayat marjuh dari Imam Ahmad berpandangan bahwa peminjam berlaku sebagai yad amanah.

  1. Sehingga, jika terjadi sesuatu pada barang pinjaman, peminjam tidak berkewajiban untuk mengganti barang tersebut.
  2. Selama tidak disebabkan oleh kecerobohan atau kelalaiannya sendiri atau peminjam menolak untuk mengembalikan ketika diminta oleh pemilik barang.
  3. Landasan pendapat ini adalah hadis riwayat ad-Daruquthni : ليس على المستعير غير المغل ضمان “Peminjam yang tidak berkhianat tidak wajib menjamin/menanggung kerusakan (barang pinjaman).” Juga secara logis, Malikiyyah berpendapat bahwa peminjam sudah mendapatkan izin yang sah untuk menggunakan barang pinjaman dari pemiliknya, sehingga peminjam tidak berkewajiban untuk menanggung kerusakan atau kehilangan yang tidak disebabkan oleh kesalahan peminjam.

Sebab pada umumnya setiap barang itu akan mengalami kerusakan jika dipakai berulang-ulang.2. Syafi’iyyah dan Pendapat Rajih dari Imam Ahmad Sedangkan kelompok kedua yang diwakili oleh ulama Syafi’iyyah dan pendapat rajih dari Imam Ahmad memandang bahwa peminjam berlaku sebagai yad dhaman.

  1. Itu artinya, peminjam wajib bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi pada barang pinjaman dalam kondisi apa pun.
  2. Tidak peduli apakah disebabkan oleh kelalaiannya atau bukan.
  3. Dalil pendapat kedua ini adalah hadis berikut ini : عن أمية بن صفوان، عن أبيه – رضي الله عنه – : أن النبي -صلى الله عليه وسلم- استعار منه أدراعه يوم حنين ، فقال : أغصبا يا محمد؟ قال “بل عارية مضمونة ” “Dari Umayyah bin Shafwan, dari ayahnya r.a bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ meminjam tameng darinya pada waktu perang Hunain, kemudian ia berkata, “Apakah engkau mengambilnya begitu saja wahai Muhammad?”, Nabi berkata, “Tidak, melainkan ini menjadi pinjaman yang dijamin (kembali).” Dalam hadis di atas Nabi menyatakan bahwa pinjaman itu dijamin oleh beliau, sehingga dipahami bahwa menjamin barang pinjaman merupakan sifat dasar dari ‘ariyah (pinjam-meminjam).3.
You might be interested:  Manajemen Yang Buruk Dan Kebangkrutan Merupakan Salah Satu Penyebab?

Malikiyyah Ulama Malikiyyah membedakan jenis barang yang dipinjam. Jika barang pinjaman itu berupa barang yang bisa disembunyikan ( ما يغاب عليه ) seperti pakaian dan perhiasan, maka peminjam wajib menjamin segala bentuk kerusakan atau kehilangan kecuali jika dia bisa menghadirkan bukti bahwa kerusakan itu bukan akibat kesalahannya.

  1. Sedangkan jika barang pinjaman berupa barang yang tampak dan tidak bisa disembunyikan seperti rumah atau kios, maka peminjam tidak berkewajiban untuk menanggung kerusakan atau kehilangan.
  2. Ecuali jika ada bukti yang menyatakan bahwa kerusakan itu adalah akibat dari kesalahannya.
  3. Rusak Karena Pemakaian wajar Yang perlu digarisbawahi ketika membahas penyebab kerusakan barang pinjaman yang menentukan apakah peminjam wajib mengganti atau tidak, adalah bahwa jika kerusakan barang itu terjadi karena pemakaian normal, semua ulama sepakat bahwa peminjam tidak wajib mengganti.

Sebab izin pemilik kepada peminjam untuk menggunakan barangnya, berarti juga mengizinkan terjadinya kerusakan akibat pemakaian wajar terhadap barang tersebut.G. Hukum Menyewakan Barang Pinjaman Tanpa Izin Pemilik Barang Bolehkah peminjam menyewakan barang pinjaman kepada orang lain? Para ulama dalam hal ini terbagi ke dalam dua pendapat.1.

Pendapat Pertama Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat tidak boleh peminjam menyewakan barang pinjaman yang ada padanya kepada orang lain tanpa izin dari pemilik barang. Hal tersebut untuk menjaga hak pemilik barang agar bisa menarik barangnya sewaktu-waktu. Sebab dengan disewakan kepada orang lain, barang tersebut tidak bisa ditarik kecuali setelah selesai masa penyewaannya.

Di samping itu, pada umumnya, pemilik barang ketika meminjamkan barangnya kepada orang lain, izin untuk menggunakan barang itu hanya ditujukan bagi si peminjam semata, tidak untuk orang lain.2. Pendapat Kedua Sedangkan ulama Malikiyyah membolehkan peminjam menyewakan barang pinjaman kepada orang lain meskipun tanpa seizin dari pemilik barang.

Hal tersebut berdasarkan pemahaman mereka bahwa ‘ariyah itu adalah penyerahan kepemilikan manfaat suatu benda ( تمليك المنفعة ). Sehingga, selama kepemilikan itu berada di tangan peminjam, dia boleh menggunakannya untuk keperluan apa pun termasuk untuk disewakan kepada orang lain. Di samping itu, menurut Malikiyyah, pemilik barang hanya boleh menarik barang yang dipinjam pada saat jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan di awal.

Sehingga tidak masalah barang itu disewakan selama belum jatuh tempo.H. Hukum Meminjamkan Emas Para ulama sepakat, boleh hukumnya meminjamkan emas jika digunakan untuk perhiasan, atau untuk tujuan pameran dan lain sebagainya. Selama emas tersebut tidak digunakan sebagai alat tukar yang habis pakai.

Namun, jika emas tersebut dipakai sebagai alat tukar sehingga emas tersebut tidak lagi berwujud emas yang sama dengan pada saat dipinjam. Maka itu termasuk qardh. As-sarakhsi, Al-Mabsuth, hal.133/11, Ibnu al-Humam, Takmilah Syarh Fath al-Qadir, hal.464/7. Ibnu Juzai, Al-Qawanin al-Fiqhiyyah, hal.320, Ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shaghir, hal.570/3.

Asy-Sarbini, Mughni al-Muhtaj, hal.263/2. Ibnu Qudamah, Al-Mughni, hal.220/5. Ibnu Hazm, Al-Muhalla, hal.164/9. Lihat: al-Lubab, hal.201/2, Hasyiyah al-Syarqawi, hal.91/2. Lihat: As-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, hal.90, Ibnu Najim, Al-Asybah wa al-Nazhair, hal.99.

Lihat: Bada’i al-Shana’i, hal.217/6, Tabyin al-Haqaiq, hal.84/5. Lihat: Asna al-Mathalib, hal.331/2, Mughni al-Muhtaj, hal.270/2. Lihat: Al-Mughni, hal.229/5, Al-Kafi, hal.273/2. Ibnu Hazm, Al-Muhalla, hal.168/9. Lihat: Bidayah al-Mujtahid, hal.313/1. Diriwayatkan oleh Abu Daud, No. hadis: 3594, Ibnu al-Jarud, Al-Muntaqa, 637-638, Ibnu Hibban, No.1199, al-Daruquthni, 27/3, dari hadits Abu Hurairah.

Lihat: Al-Hidayah ma’a Takmilah Syarh Fath al-Qadir, hal.468/7, Majma’ al-Anhur, hal.348/2. Ibnu Hazm, al-Muhalla, hal.169/9. Lihat: Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’, hal.365/5, Al-Mughni, hal.341/7. Sunan al-Daruquthni, hal.41/3, hadits ini di- dha’if -kan oleh Al-Daruquthni sendiri juga oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitab at-Talkhish, hal.97/3.

  1. Lihat: Al-Hawi, 118/7, Syarh Raudhah at-Thalib, 328/2.
  2. Lihat: Ibnu Muflih, Al-Furu’, 474/4 Musnad Ahmad, No.27636, Sunan Abi Daud, No.3562, Sunan al-Daruquthni, No.2955.
  3. Lihat: Ibnu Abdil Barr, Al-Kafi, 407, Bidayah al-Mujtahid, 403/2, al-Qawanin al-Fiqhiyyah, 320, al-Syarh al-Shaghir, 41-42/5.
  4. Lihat: Al-Hawi, 394/8, Raudhah at-Thalibin, 432/4, Mughni al-Muhtaj, 267/2, Al-Mughni, 165/5.

Lihat: Al-Durr al-Mukhtar, 503/4. Lihat: Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, 127/7. Lihat: Asy-Syarh al-Kabir, 180/3, Al-Mughni, 247/7. Lihat: Syarh az-Zarqani ‘ala Mukhtashsar Khalil, 127/6. Lihat: Al-Mabsuth, 15/18, al-Bada’i, 207/7, asy-Syarh al-Shaghir, 40/5, Raudhah al-Thalibin, 426-427/4, Takmilah Fath al-Qadir, 296/6, Al-Lubab, 78/2.
Lihat jawaban lengkap

Apa itu Ariyah dan Qardh?

Kalau Qardh adalah: mengutang barang yang statusnya menjadi hak dan milik yang berhutang yang harus dikembalikan atau dibayar dengan barang yang serupa, seperti: meminjam uang.b. Sedang kalau Ariyah, hanyalah pemberian penggunaan (manfaat) barang saja, seperti meminjam sepada motor dan itu untuk dikembalikan lagi.
Lihat jawaban lengkap

Rukun ariyah apa saja?

Rukun „ ariyah menurut Jumhur ulama ada empat, yaitu : 1. Orang yang meminjamkan atau Mu’ir 2. Orang yang meminjam atau Musta’ir 3. Barang yang dipinjam atau Mu’ar 4. Lafal atau sighat pinjaman atau sighat ‘ ariyah.
Lihat jawaban lengkap

Apa yang harus kita lakukan jika barang yang dipinjam rusak atau hilang?

Apabila barang pinjaman hilang, maka peminjam wajib.#TolongDiJawab​ Jawaban : Apabila barang pinjaman hilang, maka peminjam wajib bertanggung jawab atas hilangnya barang pinjaman tersebut. Dengan cara mengganti dan meminta maaf pada pemilik barang.

Jawaban:meminta maaf dan bertanggung jawab atas kesalahan yang ia lakukan. contoh: menggantikan barang yang hilang Penjelasan:maaf kalau ada kesalahan ^w^

: Apabila barang pinjaman hilang, maka peminjam wajib.#TolongDiJawab​
Lihat jawaban lengkap

Apa hukum meminjam barang yang kemudian barang itu di pakai untuk kejahatan?

Jawaban. Jawaban: mubah=apabila dikerjakan dengan baik akan mendapat pahala,apabila dikerjakan untuk kejahatan maka tidak mendapat pahala dan akan menambah dosa.
Lihat jawaban lengkap