JAKARTA, KOMPAS.com – Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu ) RI akan melakukan patroli anti- politik uang saat masa tenang Pemilu 2019. Anggota Bawaslu RI M Afifuddin menyebutkan, kegiatan tersebut cukup efektif mencegah terjadinya praktik politik uang dari sisi psikologis.
- Ami lakukan di masa tenang, patroli anti-politik uang.
- Yang kemarin kami lakukan saat pilkada (pemilihan kepala daerah),” ujar Afifuddin, di Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Senin (8/10/2018).
- Baca juga: Bawaslu: Sistem Proporsional Terbuka Membuka Potensi Politik Uang “Menurut kami secara subjektif ada dampaknya, bagaimana meningkatkan psikologis orang (untuk tidak) memberi dan menerima uang atas alasan memilih atau pemilu,” lanjut dia.
Untuk saat ini, Bawaslu melakukan sosialisasi dengan berbagai pihak sebagai bentuk pencegahan. Daerah-daerah yang berpotensi tinggi terjadi politik uang sesuai Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) juga mendapat sorotan. Baca juga: Pemilu 2019 Rawan Politik Uang Berdasarkan IKP tersebut, Bawaslu mencatat terdapat 177 kabupaten/kota yang rawan praktik politik uang. KOMPAS.COM Nomor urut parpol peserta Pemilu 2019. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Lihat jawaban lengkap
Contents
- 0.1 Apa itu politik uang dalam pemilu?
- 0.2 Apakah politik uang bisa menghilangkan politik berbiaya tinggi?
- 1 Siapa yang paling banyak melakukan politik uang?
- 2 Berapa jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019?
- 3 Berapa persen masyarakat membenarkan adanya Politik uang dalam Pemilu Serentak 2019?
- 4 Apa saja peraturan terkait politik uang dan mahar politik?
- 5 Apa yang menyebabkan praktik politik uang marak terjadi?
Apa itu politik uang dalam pemilu?
3 Praktik Politik Uang Dalam Pemilu yang Umum Terjadi Praktik politik uang dalam pemilu atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum.
- Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang.
- Politik uang adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye.
- Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum.
- Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai yang bersangkutan.
Pada dasarnya praktik politik uang adalah merupakan tindakan melanggar hukum dan juga menciderai demokrasi yang bersih. Sebab politik uang dilakukan salam rangka mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan. Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No.3 tahun 1999 berbunyi: “Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun.
Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.” Dalam dunia perpolitikan setidaknya terdapat 3 praktik politik uangdalam pemilu yang marak dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Mahar politik untuk Membeli Kursi dari Partai Politik Secara hakikatnya partai politik muncul sebagai penanda transformasi sistem politik klasik ke metode berpolitik modern.
Dari persprektif pembangunan politik, munculnya partai merupakan salah satu instrumen yang mengisyaratkan terbangunnya nilai-nilai demokratis di sebuah negara, dan terbukanya peluang seluruh masyarakat untuk ikut serta dalam proses pemilihan umum dan juga menjadi instrumen masyarakat dalam memberi pengaruh maupun mendapatkan kendali atas institusi-institusi politik.
- Dalam dinamikanya, partai politik kehilangan esensinya sebagai sebagai salah satu institusi politik yang memperjuangkan nilai dan ideologi.
- Sebelum era reformasi, segala bentuk perjuangan partai masih diisi oleh nilai-nilai politik yang bersifat membangun dan mencoba mentransformasikan sistem politik yang ada kepada sistem yang lebih relevan dan sesuai dengan kondisi sosial dan politik yang selalu mengalami perkembangan.
Realitas politik kini bahwa salah satu alasan berpolitik adalah untuk mengamankan “bisnisnya”, baik secara langung ikut dalam perebutan kekuasaan atau sebagai pemodal bagi salah satu calon yang ikut dalam suatu kontestasi politik di daerah maupun di nasional.
Hal yang paling buruknya lagi, munculnya kebiasaan di beberapa partai untuk meminta dana atau secara umum disebut sebagai “mahar politik” agar partai tersebut bersedia dilamar dan berusaha memenangkan calon tersebut dengan mengarahkan basis massa yang dimiliki ataupun sebagai salah satu syarat batas perolehan suara di kursi parlemen.2. Membeli kesempatan dan kekebalan hukum, agar penyelenggara pemilu, saksi dan penegak hukum tidak menyalahkan kegiatan praktik uang yang dilakukan
Seringkali ada laporan masyarakat kepada panwas soal dugaan politik uang. Namun Panwas kerap mempertanyakan bukti yang dimiliki pelapor. Praktik politik uang hanya akan menghasilkan pemimpin yang selalu membanggakan sisi materi, tidak mencintai rakyat dan selalu berpikir untuk mengembalikkan modalnya.
Panwas jangan meminta bukti, jangan meminta menghadirkan saksi, seperti seorang hakim. Panwas harus bergerak bekerja.3. Membeli Suara Berbagai macam modus dalam iming iming money politik melalui pembelian suara. Contohnya seperti serangan fajar yang sempat terjadi di Jember, dimana Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Jember menerima laporan serangan fajar, pembagian uang oleh kandidat peserta Pemilu kepada calon pemilih, pada Selasa malam hingga Rabu dini hari, 9 April 2014.
Ketua Panwaslu Jember, Dima Akhyar, mengatakan telah menerima empat laporan di empat kecamatan. Panwaslu Jember baru memeriksa saksi pelapor yang menerima uang dari seorang calon anggota legislatif Partai Golkar daerah pemilihan 3 Jember. Pembagian uang oleh tim sukses caleg itu terjadi di Desa Suco Kecamatan Mumbulsari.
- Dia dan keluarganya menerima uang masing-masing Rp 10 ribu dan kartu nama caleg Yudi Hartono.
- Panwaslu Jember, kata Dima, juga sedang menelusuri laporan pembagian beras dan uang tunai dari tim sukses caleg Partai Keadilan Sejahtera daerah pemilihan 4 Jember, Syahroni.
- Menurut Dima, peristiwa itu terjadi di Desa Manggisan Kecamatan Tanggul.
“Ada juga laporan pembagian gula di Desa Nogosari Kecamatan Rambipuji yang masih diklarifikasi,” ujarnya. Anggota Panwaslu Jember, Dahliawati, menerima laporan pembagian beras menjelang Selasa tengah malam. Pelapornya adalah Kepala Lingkungan Gladak Pakem Kelurahan Kranjingan Kecamatan Sumbersari.
- Winaryo, pelapor kasus itu mengatakan, sekitar 100 warganya menerima beras masing-masing 5 kilogram dan gambar caleg.
- Mereka, kata dia menerima beras itu setelah menghadiri undangan doa bersama tim sukses caleg dari Partai Gerindra, Bambang Hariyadi.
- Politik uang adalah sesuatu yang amat merugikan terutama bagi perjalan demokrasi sebuah bangsa.
Gambaran terjadinya politik uang menjadikan demokrasi merupakan hal yang bisa dibeli. Padahal seyogyanya tidak sekalipun pihak manapun diijinkan ikut campur dalam menentukan pilihan seseorang. Namun adanya politik uang menunjukkan bahwa bangsa kita masyarakat kita masih belun dewasa, sebab belum dapat menemukan nilai nilai dari demokrasi yang sebenarnya.
Lihat jawaban lengkap
Apakah politik uang bisa menghilangkan politik berbiaya tinggi?
Wacana penataan sistem politik yang diangkat pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat banyak menyoroti persoalan politik uang dan politik berbiaya tinggi. Namun, alih-alih membenahi akar persoalan, solusi yang disodorkan para elite adalah jalan pintas perubahan sistem.
Solusi itu tidak menghilangkan politik uang, hanya memudahkannya bagi para elite. Dua penataan sistem yang sedang digaungkan oleh pemerintah dan partai politik pendukungnya adalah mengembalikan dua sistem dalam pemilihan yang sudah usang, yakni sistem pemilihan legislatif proporsional tertutup dan sistem pemilihan kepala daerah tidak langsung oleh DPRD.
Keduanya sudah berhenti digunakan sejak 15 tahun yang lalu pasca reformasi. Pertimbangan untuk mengubah sistem pemilihan yang dinilai menggerus peran rakyat dalam demokrasi itu didorong dengan semangat pasca tumbangnya Orde Baru. Saat itu, kedaulatan rakyat sedang berada di titik tertinggi setelah gerakan mahasiswa berhasil menggulingkan 32 tahun kekuasaan tirani Soeharto.
Kini, di tengah menguatnya dominasi elite dan partai dalam kehidupan berdemokrasi, sistem itu kembali mau dihidupkan. Usulannya pun tidak main-main. Gagasan sistem proporsional tertutup dilembagakan lewat rekomendasi forum Rapat Kerja Nasional PDI-Perjuangan dan Musyawarah Nasional Partai Golkar. Dua partai dengan kursi terbanyak di DPR itu tengah melobi fraksi lain untuk mendukung usulannya.
Sementara, usulan mengevaluasi sistem pilkada langsung disuarakan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian lewat konsep pilkada asimetris. Artinya, disesuaikan dengan karakteristik daerahnya, akan ada daerah yang kepala daerahnya langsung dipilih oleh rakyat, dan ada yang akan dipilih oleh perwakilan partai di DPRD.
- Untuk menyeriusi usulan itu, dalam rangka bertukar gagasan tentang penataan sistem politik, Tito mengundang sekretaris jenderal sembilan partai politik di DPR ke Kantor Kemendagri, Jakarta, pada 8 Januari 2020 lalu.
- Satu hal yang mencuat dari pertemuan itu adalah kesepakatan informal pemerintah dan partai-partai itu untuk mengkaji ulang pilkada langsung.
Alasan utama yang dipakai adalah masalah politik berbiaya tinggi dan praktik politik uang. Sistem pemilu proporsional terbuka yang mana calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat dinilai menghabiskan biaya kampanye yang mahal serta membuka celah politik uang ke masyarakat.
- Argumentasi yang sama juga dipakai untuk sistem pilkada tak langsung.
- Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity Hadar Nafis Gumay mengatakan, alih-alih menjadi solusi, kedua model sistem pemilihan itu menghilangkan kedaulatan dan hak rakyat untuk secara langsung ikut menentukan wakilnya di legislatif dan kepala daerahnya.
Bukan kader partai Persoalan demokrasi berbiaya mahal dan maraknya politik uang, tutur Hadar, bukan berakar dari sistem. Beberapa penyebab demokrasi berbiaya mahal dan berujung korupsi politik adalah lemahnya kaderisasi dan rekrutmen di internal partai yang berujung pada kegagalan partai menjaring calon yang berkualitas.
- Data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia pada 2014 menunjukan, hanya 33 persen kandidat caleg yang merupakan kader asli partai.
- Setengah dari total caleg saat itu atau 3.241 orang dari total 6.607 orang berasal dari luar partai dan berlatar belakang pengusaha.
- Mereka baru masuk sebagai anggota partai menjelang pemilu.
Muncul calon-calon instan yang mengandalkan uang sebagai jalan keluar mendapat suara sebanyak-banyaknya, baik lewat biaya kampanye yang mahal atau lewat serangan fajar politik uang ke masyarakat pemilih Akibatnya, muncul calon-calon instan yang mengandalkan uang sebagai jalan keluar mendapat suara sebanyak-banyaknya, baik lewat biaya kampanye yang mahal atau lewat serangan fajar politik uang ke masyarakat pemilih.
- Pembenahan yang lebih tepat adalah menjamin proses rekrutmen di internal partai yang lebih transparan dan akuntabel lewat revisi UU Partai Politik.
- Persoalan lainnya, ujar Hadar, adalah sistem pengawasan dan penegakan hukum pemilu yang lemah, serta longgarnya pengaturan dan pertanggungjawaban dana kampanye.
UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tidak mencantumkan pembatasan dana belanja kampanye. UU mengatur pembatasan penerimaan sumbangan dari pihak luar, tetapi tidak membatasi sumbangan pribadi calon. Dengan belanja kampanye yang tidak dibatasi, muncul ruang kontestasi yang berbiaya mahal dan maraknya praktik politik uang.
- Pengaturan untuk memberantas politik uang di UU Pemilu juga masih lemah.
- Dibandingkan UU Pilkada, dalam UU Pemilu, hanya pihak pemberi yang bisa dikenakan pidana praktik politik uang.
- Sementara, dalam UU Pilkada, subyeknya adalah siapa pun yang melakukan politik uang, bisa pemberi maupun penerima.
- Di tengah buruknya pendidikan politik di tengah masyarakat, dibutuhkan aturan yang kuat untuk menjerat masyarakat sebagai penerima politik uang.
Ketegasan penegakan hukum politik uang itu bisa mendorong terbentuknya budaya masyarakat yang tidak lagi permisif terhadap politik uang. “Jadi, sistem proporsional tertutup bukan menjadi solusi. Permasalahan yang kita hadapi tidak langsung terkait dengan sistem pemilu.
Satu-satunya hal yang dijamin dengan perubahan sistem menjadi sentralistis ini adalah dominasi pengurus partai yang semakin kuat dan lemahnya akuntabilitas wakil rakyat ke masyarakat konstituennya,” kata Hadar. Hadar mengatakan, dengan sistem proporsional tertutup, uang yang sebelumnya digelontorkan ke masyarakat hanya akan berpindah ke tangan elite pengurus partai demi ‘membeli’ dukungan saat penentuan nomor urut caleg.
Pada akhirnya, perubahan sistem pemilu dan pilkada tidak mengeliminasi politik uang, tetapi justru membuat praktik politik uang itu lebih mudah dan murah dilakukan oleh para elite. Distribusi uang yang tidak terlalu luas dan jaminan kemenangan lewat negosiasi sesama elite lebih bisa dikunci dibandingkan menggelontorkan uang ke rakyat tanpa jaminan dipilih.
- Ini sejalan dengan penelitian doktoral yang dilakukan Burhannuddin Muhtadi berjudul “Buying Votes in Indonesia: Partisans, Personal Networks, and Winning Margins” tahun 2018 yang menunjukkan, dampak dari politik uang terhadap kemenangan caleg tidak terlalu signifikan.
- Enyataannya, politik uang hanya memengaruhi sekitar 11 persen dari total hasil suara.
“Dengan sistem tertutup, uang hanya sekadar pindah dari tangan pemilih ke pengurus partai. Untuk membeli suara rakyat mesti disediakan amplop dalam jumlah banyak, sedangkan untuk membeli pengurus partai, cukup dengan beberapa lembar saja,” kata Hadar.
Catatan arsip Kompas menunjukkan, saat sistem proporsional tertutup diterapkan pada Pemilu 1999, praktik politik uang sebenarnya juga sudah menjamur. Laporan Kompas pada 26 Februari 1999 mencatat, partai yang saat itu ditengarai paling banyak melakukan praktik politik uang adalah Golkar sebagai partai penguasa.
Pengusaha yang juga salah satu penasihat Golkar, AA Baramuli, setiap kali bepergian ke daerah selalu disertai dengan upacara bagi-bagi uang. Uang yang ia gelontorkan bisa mencapai Rp 253 juta untuk satu daerah. Laporan lain pada 10 Juni 1999 mencatat, Panitia Pengawas Pemilu DI Yogyakarta menemukan bukti bahwa PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Daulat Rakyat (PDR), melakukan pelanggaran menjelang dan pada saat pemilu.
Golkar saat itu terbukti membagi uang ke desa-desa di Sleman. Laporan lain pada 19 Februari 1999 bertajuk “Ketua Golkar DKI: Mari Berlomba dalam Money Politics” bahkan mencatat pernyataan Ketua DPD Golkar DKI Jakarta Tadjus Sobirin bahwa partai lebih baik berlomba menyogok rakyat. Ia menyarankan politik uang dijalankan untuk “kebajikan”.Mengutip pemberitaan Kompas saat itu, Tadjus Sobirin mengatakan, “Daripada menyogok oknum pejabat, lebih baik menyogok rakyat”.
Ditentang Kembalinya sistem proporsional tertutup ditentang oleh sejumlah fraksi di DPR. Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Jazuli Juwaini mengatakan, sistem pemilu proporsional terbuka sudah paling tepat mencerminkan demokrasi. “Pemilu itu kan mencari suara rakyat, jangan nanti suara rakyat itu terpatahkan oleh kepentingan politik.
Yang lebih mencerminkan representasi demokrasi itu ya suara terbanyak, bukan nomor urut,” kata Jazuli. Sementara itu, Ketua DPP Partai Nasdem Saan Mustopa menilai, sistem proporsional tertutup tidak menjawab tuntas persoalan yang muncul dari sistem proporsional terbuka. Ia mengatakan, politik uang akan tetap marak muncul meskipun sistem berganti.
Bedanya, dalam sistem proporsional terbuka uang digelontorkan oleh caleg ke pemilih, sedangkan dalam sistem tertutup uang mengalir dari partai ke pemilih atau dari caleg ke pengurus partai. Lebih lanjut, ia mengatakan, sistem proporsional terbuka adalah pilihan terbaik karena di dalamnya peran partai maupun rakyat tetap terakomodasi.
Lihat jawaban lengkap
Siapa yang paling banyak melakukan politik uang?
Wacana penataan sistem politik yang diangkat pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat banyak menyoroti persoalan politik uang dan politik berbiaya tinggi. Namun, alih-alih membenahi akar persoalan, solusi yang disodorkan para elite adalah jalan pintas perubahan sistem.
Solusi itu tidak menghilangkan politik uang, hanya memudahkannya bagi para elite. Dua penataan sistem yang sedang digaungkan oleh pemerintah dan partai politik pendukungnya adalah mengembalikan dua sistem dalam pemilihan yang sudah usang, yakni sistem pemilihan legislatif proporsional tertutup dan sistem pemilihan kepala daerah tidak langsung oleh DPRD.
Keduanya sudah berhenti digunakan sejak 15 tahun yang lalu pasca reformasi. Pertimbangan untuk mengubah sistem pemilihan yang dinilai menggerus peran rakyat dalam demokrasi itu didorong dengan semangat pasca tumbangnya Orde Baru. Saat itu, kedaulatan rakyat sedang berada di titik tertinggi setelah gerakan mahasiswa berhasil menggulingkan 32 tahun kekuasaan tirani Soeharto.
Ini, di tengah menguatnya dominasi elite dan partai dalam kehidupan berdemokrasi, sistem itu kembali mau dihidupkan. Usulannya pun tidak main-main. Gagasan sistem proporsional tertutup dilembagakan lewat rekomendasi forum Rapat Kerja Nasional PDI-Perjuangan dan Musyawarah Nasional Partai Golkar. Dua partai dengan kursi terbanyak di DPR itu tengah melobi fraksi lain untuk mendukung usulannya.
Sementara, usulan mengevaluasi sistem pilkada langsung disuarakan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian lewat konsep pilkada asimetris. Artinya, disesuaikan dengan karakteristik daerahnya, akan ada daerah yang kepala daerahnya langsung dipilih oleh rakyat, dan ada yang akan dipilih oleh perwakilan partai di DPRD.
- Untuk menyeriusi usulan itu, dalam rangka bertukar gagasan tentang penataan sistem politik, Tito mengundang sekretaris jenderal sembilan partai politik di DPR ke Kantor Kemendagri, Jakarta, pada 8 Januari 2020 lalu.
- Satu hal yang mencuat dari pertemuan itu adalah kesepakatan informal pemerintah dan partai-partai itu untuk mengkaji ulang pilkada langsung.
Alasan utama yang dipakai adalah masalah politik berbiaya tinggi dan praktik politik uang. Sistem pemilu proporsional terbuka yang mana calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat dinilai menghabiskan biaya kampanye yang mahal serta membuka celah politik uang ke masyarakat.
- Argumentasi yang sama juga dipakai untuk sistem pilkada tak langsung.
- Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity Hadar Nafis Gumay mengatakan, alih-alih menjadi solusi, kedua model sistem pemilihan itu menghilangkan kedaulatan dan hak rakyat untuk secara langsung ikut menentukan wakilnya di legislatif dan kepala daerahnya.
Bukan kader partai Persoalan demokrasi berbiaya mahal dan maraknya politik uang, tutur Hadar, bukan berakar dari sistem. Beberapa penyebab demokrasi berbiaya mahal dan berujung korupsi politik adalah lemahnya kaderisasi dan rekrutmen di internal partai yang berujung pada kegagalan partai menjaring calon yang berkualitas.
Data Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia pada 2014 menunjukan, hanya 33 persen kandidat caleg yang merupakan kader asli partai. Setengah dari total caleg saat itu atau 3.241 orang dari total 6.607 orang berasal dari luar partai dan berlatar belakang pengusaha. Mereka baru masuk sebagai anggota partai menjelang pemilu.
Muncul calon-calon instan yang mengandalkan uang sebagai jalan keluar mendapat suara sebanyak-banyaknya, baik lewat biaya kampanye yang mahal atau lewat serangan fajar politik uang ke masyarakat pemilih Akibatnya, muncul calon-calon instan yang mengandalkan uang sebagai jalan keluar mendapat suara sebanyak-banyaknya, baik lewat biaya kampanye yang mahal atau lewat serangan fajar politik uang ke masyarakat pemilih.
Pembenahan yang lebih tepat adalah menjamin proses rekrutmen di internal partai yang lebih transparan dan akuntabel lewat revisi UU Partai Politik. Persoalan lainnya, ujar Hadar, adalah sistem pengawasan dan penegakan hukum pemilu yang lemah, serta longgarnya pengaturan dan pertanggungjawaban dana kampanye.
UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tidak mencantumkan pembatasan dana belanja kampanye. UU mengatur pembatasan penerimaan sumbangan dari pihak luar, tetapi tidak membatasi sumbangan pribadi calon. Dengan belanja kampanye yang tidak dibatasi, muncul ruang kontestasi yang berbiaya mahal dan maraknya praktik politik uang.
- Pengaturan untuk memberantas politik uang di UU Pemilu juga masih lemah.
- Dibandingkan UU Pilkada, dalam UU Pemilu, hanya pihak pemberi yang bisa dikenakan pidana praktik politik uang.
- Sementara, dalam UU Pilkada, subyeknya adalah siapa pun yang melakukan politik uang, bisa pemberi maupun penerima.
- Di tengah buruknya pendidikan politik di tengah masyarakat, dibutuhkan aturan yang kuat untuk menjerat masyarakat sebagai penerima politik uang.
Ketegasan penegakan hukum politik uang itu bisa mendorong terbentuknya budaya masyarakat yang tidak lagi permisif terhadap politik uang. “Jadi, sistem proporsional tertutup bukan menjadi solusi. Permasalahan yang kita hadapi tidak langsung terkait dengan sistem pemilu.
- Satu-satunya hal yang dijamin dengan perubahan sistem menjadi sentralistis ini adalah dominasi pengurus partai yang semakin kuat dan lemahnya akuntabilitas wakil rakyat ke masyarakat konstituennya,” kata Hadar.
- Hadar mengatakan, dengan sistem proporsional tertutup, uang yang sebelumnya digelontorkan ke masyarakat hanya akan berpindah ke tangan elite pengurus partai demi ‘membeli’ dukungan saat penentuan nomor urut caleg.
Pada akhirnya, perubahan sistem pemilu dan pilkada tidak mengeliminasi politik uang, tetapi justru membuat praktik politik uang itu lebih mudah dan murah dilakukan oleh para elite. Distribusi uang yang tidak terlalu luas dan jaminan kemenangan lewat negosiasi sesama elite lebih bisa dikunci dibandingkan menggelontorkan uang ke rakyat tanpa jaminan dipilih.
- Ini sejalan dengan penelitian doktoral yang dilakukan Burhannuddin Muhtadi berjudul “Buying Votes in Indonesia: Partisans, Personal Networks, and Winning Margins” tahun 2018 yang menunjukkan, dampak dari politik uang terhadap kemenangan caleg tidak terlalu signifikan.
- Enyataannya, politik uang hanya memengaruhi sekitar 11 persen dari total hasil suara.
“Dengan sistem tertutup, uang hanya sekadar pindah dari tangan pemilih ke pengurus partai. Untuk membeli suara rakyat mesti disediakan amplop dalam jumlah banyak, sedangkan untuk membeli pengurus partai, cukup dengan beberapa lembar saja,” kata Hadar.
Catatan arsip Kompas menunjukkan, saat sistem proporsional tertutup diterapkan pada Pemilu 1999, praktik politik uang sebenarnya juga sudah menjamur. Laporan Kompas pada 26 Februari 1999 mencatat, partai yang saat itu ditengarai paling banyak melakukan praktik politik uang adalah Golkar sebagai partai penguasa.
Pengusaha yang juga salah satu penasihat Golkar, AA Baramuli, setiap kali bepergian ke daerah selalu disertai dengan upacara bagi-bagi uang. Uang yang ia gelontorkan bisa mencapai Rp 253 juta untuk satu daerah. Laporan lain pada 10 Juni 1999 mencatat, Panitia Pengawas Pemilu DI Yogyakarta menemukan bukti bahwa PDI-P, Partai Golkar, dan Partai Daulat Rakyat (PDR), melakukan pelanggaran menjelang dan pada saat pemilu.
Golkar saat itu terbukti membagi uang ke desa-desa di Sleman. Laporan lain pada 19 Februari 1999 bertajuk “Ketua Golkar DKI: Mari Berlomba dalam Money Politics” bahkan mencatat pernyataan Ketua DPD Golkar DKI Jakarta Tadjus Sobirin bahwa partai lebih baik berlomba menyogok rakyat. Ia menyarankan politik uang dijalankan untuk “kebajikan”.Mengutip pemberitaan Kompas saat itu, Tadjus Sobirin mengatakan, “Daripada menyogok oknum pejabat, lebih baik menyogok rakyat”.
Ditentang Kembalinya sistem proporsional tertutup ditentang oleh sejumlah fraksi di DPR. Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Jazuli Juwaini mengatakan, sistem pemilu proporsional terbuka sudah paling tepat mencerminkan demokrasi. “Pemilu itu kan mencari suara rakyat, jangan nanti suara rakyat itu terpatahkan oleh kepentingan politik.
- Yang lebih mencerminkan representasi demokrasi itu ya suara terbanyak, bukan nomor urut,” kata Jazuli.
- Sementara itu, Ketua DPP Partai Nasdem Saan Mustopa menilai, sistem proporsional tertutup tidak menjawab tuntas persoalan yang muncul dari sistem proporsional terbuka.
- Ia mengatakan, politik uang akan tetap marak muncul meskipun sistem berganti.
Bedanya, dalam sistem proporsional terbuka uang digelontorkan oleh caleg ke pemilih, sedangkan dalam sistem tertutup uang mengalir dari partai ke pemilih atau dari caleg ke pengurus partai. Lebih lanjut, ia mengatakan, sistem proporsional terbuka adalah pilihan terbaik karena di dalamnya peran partai maupun rakyat tetap terakomodasi.
Lihat jawaban lengkap
Berapa jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019?
Politik Uang dan Solusinya dalam Hukum Peneliti Senior Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Kompas Bambang Setiawan mengungkapkan hasil survei tahun 2020 kajian Litbang Kompas soal politik uang, mayoritas responden menjawab untuk tidak melaporkannya kepada pihak berwenang. “Mayoritas masyarakat tidak melaporkan praktik politik uang kepada pihak berwenang” ujar Bambang.
- Sementara mayoritas responden mengaku puas terhadap kinerja Bawaslu dalam mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN).
- Hal itu berdasarkan tiga indikator yakni puas, tidak puas, dan tidak tahu.
- Bambang mengungkapkan kajian tersebut dalam acara diskusi publik bersama media dan pemantau pemilu dengan tema Persiapan dan Tantangan Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 yang diadakan oleh Bawaslu, di Media Center Bawaslu, di Jakarta, Rabu (16/5/2021).
Menurut Burhanuddin dkk, 2019, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia, dengan kata lain politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam Pemilu Indonesia.
Hal ini sejalan dengan temuan Bawaslu dan berbagai lembaga survei terdapat kasus politik uang yang terjadi pada Pemilu serentak tahun 2019 antara lain, Pertama 12 kasus dugaan politik uang yang terjadi pada masa tenang tanggal 14 sampai dengan 16 April 2019 dan pada hari pencoblosan yaitu 1 kasus Kabupaten Ciamis, 1 kasus Kabupaten Kuningan, 4 kasus terjadi di Kabupaten Pangandaran, 1 kasus di Kota Bandung, 1 kasus di Kabupaten Indramayu, dan 4 kasus di Kabupaten Garut.
Kedua, menurut hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei tentang Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia, menyatakan bahwa terdapat 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7 persen menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.
- Celah Hukum Politik Uang Dari gambaran tersebut di atas, mari kita menelaah permasalahan dan celah hukum yang memungkinkan meningkatnya potensi praktek politik uang.
- Permasalahan tersebut memunculkan pelanggaran karena terdapat kelemahan dari segi aturan, pengawasan, dan sistem Pemilu yang membuka berkembangnya politik uang.
Berikut adalah beberapa permasalahan yang membuka peluang besar dalam berkembangnya praktik politik uang di Pemilu 2019 yaitu: terdapat Celah Regulasi Yang Menyebabkan Subjek Hukum Dapat Lolos Dari Jeratan Undang-Undang. Pertama, pada tahap kampanye dan masa tenang subjek pemberi uang diatur dalam UU Pemilu (UU No.7 Tahun 2017) hanya pelaksana, peserta atau tim kampanye.
Pada tahap pemungutan suara subjek pemberi diatur lebih luas menjadi “setiap orang”. Hal ini akan berdampak kepada tidak terjeratnya pelaku yang diluar kategori pelaksana, peserta atau tim kampanye pada saat melakukan politik uang selama tahapan kampanye dan masa tenang. Sementara menurut Pasal 269 ayat (1), 270 ayat (1), (2) dan (3) pelaksana kampanye Pemilu adalah pengurus partai politik, calon anggota legislatif, juru kampanye Pemilu (mewakili partai/ calon), orang seorang dan organisasi yang ditunjuk partai politik.
Secara normatif, pelaksana kampanye inilah yang melakukan kampanye kepada peserta kampanye (masyarakat). Namun pada masa kampanye dan masa tenang, ketentuan ini tidak dapat digunakan menindak pelaku politik uang jika praktik politik uang dilakukan seseorang yang tidak terkait dengan pelaksana kampanye yaitu partai politik atau calon anggota legislatif (Pasal 84).
- Eterbatasan norma hukum ini menyebabkan praktik politik uang marak terjadi pada masa sebelum pencoblosan dimana praktik politik uang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mungkin dijerat oleh pasal mengenai politik uang.
- Edua, UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara penerima tidak diatur secra tegas.
Pada Pasal 228 UU Pemilu mensyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebagai landasan penerapan sanksi administrasi ke pada partai politik yang menerapkan mahar politik pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Selain itu UU Pemilu tidak mengatur tentang sanksi pidana terkait mahar politik.
- Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang syarat akan kepentingan politik, sehingga substansi UU Pemilu tidak sesuai dengan harapan.
- Etiga, penetapan presidential treshold (ambang batas) yang mengakibatkan kecendrungan partai politik melakukan negosiasi dan mengarah kepada mahar politik.
Presidential threshold akan menciptakan oligarki politik. Hal ini sejalan dengan pendapat Marli (2018), yang menyatakan bahwa syarat pencalonan harusnya lebih mudah dan terbuka karena akan ada lebih banyak calon alternatif sehingga dimungkinkan adanya muncul tokoh baru dan bisa menekan mahar pencalonan, pembatasan hak warga negara juga dapat dapat dilihat dari pembatasan dalam pencalonan.
Eempat, adanya kelemahan dan keterbatasan regulasi Pemilu yang menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di kabupaten/kota untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu khususnya politik uang. Hal ini terkait dengan aspek hukum soal pembuktian politik uang yang mengharuskan Bawaslu memiliki bukti material berupa saksi pelapor, pihak pelaku politik uang dan alat bukti pendukung lainnya.
Tidak Teridentifikasi Transaksi pemberian uang terkadang tidak dilakukan calon secara langsung tetapi melalui perantara tim sukses atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan calon. Modusnya beragam seperti melalui acara pengajian, wiridan, PKK ibu-ibu di RT/RW di tingkat desa atau acara- acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon.
- Dalih yang paling umum untuk penyampaian pemberian uang atau barang adalah pengganti uang transportasi.
- Praktek pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas mengarah pada politik uang namun pembuktian hukumnya terkendala oleh konteks kejadian dan makna politik uang itu sendiri.
- Jika pemberian didalihkan sebagai ganti transporasi dan pada saat kejadian pembagian, sang calon tidak menyinggung visi, misi, dan tidak mengadakan ajakan untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian transportasi sulit didakwakan sebagai politik uang.
Situasinya demikian menyebabkan langkah penegakan hukum terpadu (Gakumdu) yang dilakukan bersama antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, sulit dilakukan karena kendala pembuktian hukum dari makna politik uang. Kendala lain adalah sulitnya Badan Pengawas Pemilu menghadirkan saksi.
- Umumnya orang yang mengetahui ada praktik politik uang tidak bersedia bersaksi karena khawatir menyinggung pelaku yang dikenalnya.
- Egagalan Badan Pengawas Pemilu dalam konteks Gakumdu dalam rangka membawa dugaan politik uang ke ranah hukum menjadi fenomena umum.
- Artinya, walaupun dugaan politik uang meluas dan menjadi pembicaraan luas masyarakat (pemilih), namun jika tidak didukung alat bukti yang secara hukum kuat (saksi, uang/ meteri, pelaku dan terpenuhinya aspek politik uang) maka Pengawas Pemilu tidak dapat melanjutkan ke aspek penuntutan yang lebih tinggi ke kepolisiaan atau kejaksaan.
Ketiadaan alat bukti menyebabkan penindakan hukum praktik politik uang gugur di tengah jalan. Sanksi Pidana dan Administratif Peraturan terkait politik uang dan mahar politik yaitu UU Nomor 10 Tahun 2016, dan UU Nomor 1 Tahun 2015 mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur, Walikota ataupun Bupati.
Peraturan pada undang-undang Pilkada tidak hanya memberikan sanksi pidana kepada orang yang melakukan mahar, tapi juga administrastif. Pelanggar dilarang mengajukan calon kepala/wakil kepala daerah untuk periode berikutnya. Sanksi lain adalah pembatalan atas penetapan calon terpilih, kepala daerah yang dilantik.
Berbeda dengan itu, undang-undang Pemilu nomor 7 Tahun 2017, sanksi hanya sebatas pelarangan terhadap partai politik untuk mengajukan calon presiden pada periode berikutnya. Aturan itu tidak menyebutkan mengenai pembatalan pasangan calon, calon terpilih atau perberhentian Presiden atau Wakil Presiden yang telah dilantik.
Peraturan KPU nomor 22 Tahun 2018 tidak mengatur lebih lanjut tentang mahar. Seharusnya Undang-undang Pemilu dapat segera direvisi menyesuaikan dengan undang-undang Pilkada, setidaknya jika undang- undang tidak terbentuk, peraturan pemerintah bisa mengatur peraturan ini secara rinci. Jadi, aturan hukum harus direvisi untuk memperjelas sanksi hukum dan sanksi administrasi jika terjadi pelanggaran mengenai mahar politik ataupun politik uang.
Aturan ini juga harus lebih mempermudah pengawas untuk membuat alat bukti. Sesuai teori Von Feurbach, kriminalisasi yang disertai ancaman hukuman yang berat memberikan efek psikologis yang mencegah seseorang melakukan kejahatan serupa. FORTUNATUS HAMSAH MANAH Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur : Politik Uang dan Solusinya dalam Hukum
Lihat jawaban lengkap
Berapa jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019?
Politik Uang dan Solusinya dalam Hukum Peneliti Senior Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Kompas Bambang Setiawan mengungkapkan hasil survei tahun 2020 kajian Litbang Kompas soal politik uang, mayoritas responden menjawab untuk tidak melaporkannya kepada pihak berwenang. “Mayoritas masyarakat tidak melaporkan praktik politik uang kepada pihak berwenang” ujar Bambang.
Sementara mayoritas responden mengaku puas terhadap kinerja Bawaslu dalam mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN). Hal itu berdasarkan tiga indikator yakni puas, tidak puas, dan tidak tahu. Bambang mengungkapkan kajian tersebut dalam acara diskusi publik bersama media dan pemantau pemilu dengan tema Persiapan dan Tantangan Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 yang diadakan oleh Bawaslu, di Media Center Bawaslu, di Jakarta, Rabu (16/5/2021).
Menurut Burhanuddin dkk, 2019, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia, dengan kata lain politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam Pemilu Indonesia.
Hal ini sejalan dengan temuan Bawaslu dan berbagai lembaga survei terdapat kasus politik uang yang terjadi pada Pemilu serentak tahun 2019 antara lain, Pertama 12 kasus dugaan politik uang yang terjadi pada masa tenang tanggal 14 sampai dengan 16 April 2019 dan pada hari pencoblosan yaitu 1 kasus Kabupaten Ciamis, 1 kasus Kabupaten Kuningan, 4 kasus terjadi di Kabupaten Pangandaran, 1 kasus di Kota Bandung, 1 kasus di Kabupaten Indramayu, dan 4 kasus di Kabupaten Garut.
Kedua, menurut hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei tentang Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia, menyatakan bahwa terdapat 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7 persen menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.
- Celah Hukum Politik Uang Dari gambaran tersebut di atas, mari kita menelaah permasalahan dan celah hukum yang memungkinkan meningkatnya potensi praktek politik uang.
- Permasalahan tersebut memunculkan pelanggaran karena terdapat kelemahan dari segi aturan, pengawasan, dan sistem Pemilu yang membuka berkembangnya politik uang.
Berikut adalah beberapa permasalahan yang membuka peluang besar dalam berkembangnya praktik politik uang di Pemilu 2019 yaitu: terdapat Celah Regulasi Yang Menyebabkan Subjek Hukum Dapat Lolos Dari Jeratan Undang-Undang. Pertama, pada tahap kampanye dan masa tenang subjek pemberi uang diatur dalam UU Pemilu (UU No.7 Tahun 2017) hanya pelaksana, peserta atau tim kampanye.
Pada tahap pemungutan suara subjek pemberi diatur lebih luas menjadi “setiap orang”. Hal ini akan berdampak kepada tidak terjeratnya pelaku yang diluar kategori pelaksana, peserta atau tim kampanye pada saat melakukan politik uang selama tahapan kampanye dan masa tenang. Sementara menurut Pasal 269 ayat (1), 270 ayat (1), (2) dan (3) pelaksana kampanye Pemilu adalah pengurus partai politik, calon anggota legislatif, juru kampanye Pemilu (mewakili partai/ calon), orang seorang dan organisasi yang ditunjuk partai politik.
Secara normatif, pelaksana kampanye inilah yang melakukan kampanye kepada peserta kampanye (masyarakat). Namun pada masa kampanye dan masa tenang, ketentuan ini tidak dapat digunakan menindak pelaku politik uang jika praktik politik uang dilakukan seseorang yang tidak terkait dengan pelaksana kampanye yaitu partai politik atau calon anggota legislatif (Pasal 84).
- Eterbatasan norma hukum ini menyebabkan praktik politik uang marak terjadi pada masa sebelum pencoblosan dimana praktik politik uang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mungkin dijerat oleh pasal mengenai politik uang.
- Edua, UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara penerima tidak diatur secra tegas.
Pada Pasal 228 UU Pemilu mensyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebagai landasan penerapan sanksi administrasi ke pada partai politik yang menerapkan mahar politik pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Selain itu UU Pemilu tidak mengatur tentang sanksi pidana terkait mahar politik.
- Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang syarat akan kepentingan politik, sehingga substansi UU Pemilu tidak sesuai dengan harapan.
- Etiga, penetapan presidential treshold (ambang batas) yang mengakibatkan kecendrungan partai politik melakukan negosiasi dan mengarah kepada mahar politik.
Presidential threshold akan menciptakan oligarki politik. Hal ini sejalan dengan pendapat Marli (2018), yang menyatakan bahwa syarat pencalonan harusnya lebih mudah dan terbuka karena akan ada lebih banyak calon alternatif sehingga dimungkinkan adanya muncul tokoh baru dan bisa menekan mahar pencalonan, pembatasan hak warga negara juga dapat dapat dilihat dari pembatasan dalam pencalonan.
- Eempat, adanya kelemahan dan keterbatasan regulasi Pemilu yang menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di kabupaten/kota untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu khususnya politik uang.
- Hal ini terkait dengan aspek hukum soal pembuktian politik uang yang mengharuskan Bawaslu memiliki bukti material berupa saksi pelapor, pihak pelaku politik uang dan alat bukti pendukung lainnya.
Tidak Teridentifikasi Transaksi pemberian uang terkadang tidak dilakukan calon secara langsung tetapi melalui perantara tim sukses atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan calon. Modusnya beragam seperti melalui acara pengajian, wiridan, PKK ibu-ibu di RT/RW di tingkat desa atau acara- acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon.
Dalih yang paling umum untuk penyampaian pemberian uang atau barang adalah pengganti uang transportasi. Praktek pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas mengarah pada politik uang namun pembuktian hukumnya terkendala oleh konteks kejadian dan makna politik uang itu sendiri. Jika pemberian didalihkan sebagai ganti transporasi dan pada saat kejadian pembagian, sang calon tidak menyinggung visi, misi, dan tidak mengadakan ajakan untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian transportasi sulit didakwakan sebagai politik uang.
Situasinya demikian menyebabkan langkah penegakan hukum terpadu (Gakumdu) yang dilakukan bersama antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, sulit dilakukan karena kendala pembuktian hukum dari makna politik uang. Kendala lain adalah sulitnya Badan Pengawas Pemilu menghadirkan saksi.
Umumnya orang yang mengetahui ada praktik politik uang tidak bersedia bersaksi karena khawatir menyinggung pelaku yang dikenalnya. Kegagalan Badan Pengawas Pemilu dalam konteks Gakumdu dalam rangka membawa dugaan politik uang ke ranah hukum menjadi fenomena umum. Artinya, walaupun dugaan politik uang meluas dan menjadi pembicaraan luas masyarakat (pemilih), namun jika tidak didukung alat bukti yang secara hukum kuat (saksi, uang/ meteri, pelaku dan terpenuhinya aspek politik uang) maka Pengawas Pemilu tidak dapat melanjutkan ke aspek penuntutan yang lebih tinggi ke kepolisiaan atau kejaksaan.
Ketiadaan alat bukti menyebabkan penindakan hukum praktik politik uang gugur di tengah jalan. Sanksi Pidana dan Administratif Peraturan terkait politik uang dan mahar politik yaitu UU Nomor 10 Tahun 2016, dan UU Nomor 1 Tahun 2015 mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur, Walikota ataupun Bupati.
- Peraturan pada undang-undang Pilkada tidak hanya memberikan sanksi pidana kepada orang yang melakukan mahar, tapi juga administrastif.
- Pelanggar dilarang mengajukan calon kepala/wakil kepala daerah untuk periode berikutnya.
- Sanksi lain adalah pembatalan atas penetapan calon terpilih, kepala daerah yang dilantik.
Berbeda dengan itu, undang-undang Pemilu nomor 7 Tahun 2017, sanksi hanya sebatas pelarangan terhadap partai politik untuk mengajukan calon presiden pada periode berikutnya. Aturan itu tidak menyebutkan mengenai pembatalan pasangan calon, calon terpilih atau perberhentian Presiden atau Wakil Presiden yang telah dilantik.
- Peraturan KPU nomor 22 Tahun 2018 tidak mengatur lebih lanjut tentang mahar.
- Seharusnya Undang-undang Pemilu dapat segera direvisi menyesuaikan dengan undang-undang Pilkada, setidaknya jika undang- undang tidak terbentuk, peraturan pemerintah bisa mengatur peraturan ini secara rinci.
- Jadi, aturan hukum harus direvisi untuk memperjelas sanksi hukum dan sanksi administrasi jika terjadi pelanggaran mengenai mahar politik ataupun politik uang.
Aturan ini juga harus lebih mempermudah pengawas untuk membuat alat bukti. Sesuai teori Von Feurbach, kriminalisasi yang disertai ancaman hukuman yang berat memberikan efek psikologis yang mencegah seseorang melakukan kejahatan serupa. FORTUNATUS HAMSAH MANAH Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur : Politik Uang dan Solusinya dalam Hukum
Lihat jawaban lengkap
Berapa persen masyarakat membenarkan adanya Politik uang dalam Pemilu Serentak 2019?
Politik Uang dan Solusinya dalam Hukum Peneliti Senior Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Kompas Bambang Setiawan mengungkapkan hasil survei tahun 2020 kajian Litbang Kompas soal politik uang, mayoritas responden menjawab untuk tidak melaporkannya kepada pihak berwenang. “Mayoritas masyarakat tidak melaporkan praktik politik uang kepada pihak berwenang” ujar Bambang.
Sementara mayoritas responden mengaku puas terhadap kinerja Bawaslu dalam mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN). Hal itu berdasarkan tiga indikator yakni puas, tidak puas, dan tidak tahu. Bambang mengungkapkan kajian tersebut dalam acara diskusi publik bersama media dan pemantau pemilu dengan tema Persiapan dan Tantangan Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 yang diadakan oleh Bawaslu, di Media Center Bawaslu, di Jakarta, Rabu (16/5/2021).
Menurut Burhanuddin dkk, 2019, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia, dengan kata lain politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam Pemilu Indonesia.
Hal ini sejalan dengan temuan Bawaslu dan berbagai lembaga survei terdapat kasus politik uang yang terjadi pada Pemilu serentak tahun 2019 antara lain, Pertama 12 kasus dugaan politik uang yang terjadi pada masa tenang tanggal 14 sampai dengan 16 April 2019 dan pada hari pencoblosan yaitu 1 kasus Kabupaten Ciamis, 1 kasus Kabupaten Kuningan, 4 kasus terjadi di Kabupaten Pangandaran, 1 kasus di Kota Bandung, 1 kasus di Kabupaten Indramayu, dan 4 kasus di Kabupaten Garut.
Kedua, menurut hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei tentang Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia, menyatakan bahwa terdapat 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7 persen menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.
Celah Hukum Politik Uang Dari gambaran tersebut di atas, mari kita menelaah permasalahan dan celah hukum yang memungkinkan meningkatnya potensi praktek politik uang. Permasalahan tersebut memunculkan pelanggaran karena terdapat kelemahan dari segi aturan, pengawasan, dan sistem Pemilu yang membuka berkembangnya politik uang.
Berikut adalah beberapa permasalahan yang membuka peluang besar dalam berkembangnya praktik politik uang di Pemilu 2019 yaitu: terdapat Celah Regulasi Yang Menyebabkan Subjek Hukum Dapat Lolos Dari Jeratan Undang-Undang. Pertama, pada tahap kampanye dan masa tenang subjek pemberi uang diatur dalam UU Pemilu (UU No.7 Tahun 2017) hanya pelaksana, peserta atau tim kampanye.
- Pada tahap pemungutan suara subjek pemberi diatur lebih luas menjadi “setiap orang”.
- Hal ini akan berdampak kepada tidak terjeratnya pelaku yang diluar kategori pelaksana, peserta atau tim kampanye pada saat melakukan politik uang selama tahapan kampanye dan masa tenang.
- Sementara menurut Pasal 269 ayat (1), 270 ayat (1), (2) dan (3) pelaksana kampanye Pemilu adalah pengurus partai politik, calon anggota legislatif, juru kampanye Pemilu (mewakili partai/ calon), orang seorang dan organisasi yang ditunjuk partai politik.
Secara normatif, pelaksana kampanye inilah yang melakukan kampanye kepada peserta kampanye (masyarakat). Namun pada masa kampanye dan masa tenang, ketentuan ini tidak dapat digunakan menindak pelaku politik uang jika praktik politik uang dilakukan seseorang yang tidak terkait dengan pelaksana kampanye yaitu partai politik atau calon anggota legislatif (Pasal 84).
- Eterbatasan norma hukum ini menyebabkan praktik politik uang marak terjadi pada masa sebelum pencoblosan dimana praktik politik uang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mungkin dijerat oleh pasal mengenai politik uang.
- Edua, UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara penerima tidak diatur secra tegas.
Pada Pasal 228 UU Pemilu mensyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebagai landasan penerapan sanksi administrasi ke pada partai politik yang menerapkan mahar politik pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Selain itu UU Pemilu tidak mengatur tentang sanksi pidana terkait mahar politik.
Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang syarat akan kepentingan politik, sehingga substansi UU Pemilu tidak sesuai dengan harapan. Ketiga, penetapan presidential treshold (ambang batas) yang mengakibatkan kecendrungan partai politik melakukan negosiasi dan mengarah kepada mahar politik.
Presidential threshold akan menciptakan oligarki politik. Hal ini sejalan dengan pendapat Marli (2018), yang menyatakan bahwa syarat pencalonan harusnya lebih mudah dan terbuka karena akan ada lebih banyak calon alternatif sehingga dimungkinkan adanya muncul tokoh baru dan bisa menekan mahar pencalonan, pembatasan hak warga negara juga dapat dapat dilihat dari pembatasan dalam pencalonan.
Eempat, adanya kelemahan dan keterbatasan regulasi Pemilu yang menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di kabupaten/kota untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu khususnya politik uang. Hal ini terkait dengan aspek hukum soal pembuktian politik uang yang mengharuskan Bawaslu memiliki bukti material berupa saksi pelapor, pihak pelaku politik uang dan alat bukti pendukung lainnya.
Tidak Teridentifikasi Transaksi pemberian uang terkadang tidak dilakukan calon secara langsung tetapi melalui perantara tim sukses atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan calon. Modusnya beragam seperti melalui acara pengajian, wiridan, PKK ibu-ibu di RT/RW di tingkat desa atau acara- acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon.
- Dalih yang paling umum untuk penyampaian pemberian uang atau barang adalah pengganti uang transportasi.
- Praktek pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas mengarah pada politik uang namun pembuktian hukumnya terkendala oleh konteks kejadian dan makna politik uang itu sendiri.
- Jika pemberian didalihkan sebagai ganti transporasi dan pada saat kejadian pembagian, sang calon tidak menyinggung visi, misi, dan tidak mengadakan ajakan untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian transportasi sulit didakwakan sebagai politik uang.
Situasinya demikian menyebabkan langkah penegakan hukum terpadu (Gakumdu) yang dilakukan bersama antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, sulit dilakukan karena kendala pembuktian hukum dari makna politik uang. Kendala lain adalah sulitnya Badan Pengawas Pemilu menghadirkan saksi.
- Umumnya orang yang mengetahui ada praktik politik uang tidak bersedia bersaksi karena khawatir menyinggung pelaku yang dikenalnya.
- Egagalan Badan Pengawas Pemilu dalam konteks Gakumdu dalam rangka membawa dugaan politik uang ke ranah hukum menjadi fenomena umum.
- Artinya, walaupun dugaan politik uang meluas dan menjadi pembicaraan luas masyarakat (pemilih), namun jika tidak didukung alat bukti yang secara hukum kuat (saksi, uang/ meteri, pelaku dan terpenuhinya aspek politik uang) maka Pengawas Pemilu tidak dapat melanjutkan ke aspek penuntutan yang lebih tinggi ke kepolisiaan atau kejaksaan.
Ketiadaan alat bukti menyebabkan penindakan hukum praktik politik uang gugur di tengah jalan. Sanksi Pidana dan Administratif Peraturan terkait politik uang dan mahar politik yaitu UU Nomor 10 Tahun 2016, dan UU Nomor 1 Tahun 2015 mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur, Walikota ataupun Bupati.
- Peraturan pada undang-undang Pilkada tidak hanya memberikan sanksi pidana kepada orang yang melakukan mahar, tapi juga administrastif.
- Pelanggar dilarang mengajukan calon kepala/wakil kepala daerah untuk periode berikutnya.
- Sanksi lain adalah pembatalan atas penetapan calon terpilih, kepala daerah yang dilantik.
Berbeda dengan itu, undang-undang Pemilu nomor 7 Tahun 2017, sanksi hanya sebatas pelarangan terhadap partai politik untuk mengajukan calon presiden pada periode berikutnya. Aturan itu tidak menyebutkan mengenai pembatalan pasangan calon, calon terpilih atau perberhentian Presiden atau Wakil Presiden yang telah dilantik.
- Peraturan KPU nomor 22 Tahun 2018 tidak mengatur lebih lanjut tentang mahar.
- Seharusnya Undang-undang Pemilu dapat segera direvisi menyesuaikan dengan undang-undang Pilkada, setidaknya jika undang- undang tidak terbentuk, peraturan pemerintah bisa mengatur peraturan ini secara rinci.
- Jadi, aturan hukum harus direvisi untuk memperjelas sanksi hukum dan sanksi administrasi jika terjadi pelanggaran mengenai mahar politik ataupun politik uang.
Aturan ini juga harus lebih mempermudah pengawas untuk membuat alat bukti. Sesuai teori Von Feurbach, kriminalisasi yang disertai ancaman hukuman yang berat memberikan efek psikologis yang mencegah seseorang melakukan kejahatan serupa. FORTUNATUS HAMSAH MANAH Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur : Politik Uang dan Solusinya dalam Hukum
Lihat jawaban lengkap
Apa saja peraturan terkait politik uang dan mahar politik?
Politik Uang dan Solusinya dalam Hukum Peneliti Senior Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Kompas Bambang Setiawan mengungkapkan hasil survei tahun 2020 kajian Litbang Kompas soal politik uang, mayoritas responden menjawab untuk tidak melaporkannya kepada pihak berwenang. “Mayoritas masyarakat tidak melaporkan praktik politik uang kepada pihak berwenang” ujar Bambang.
- Sementara mayoritas responden mengaku puas terhadap kinerja Bawaslu dalam mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN).
- Hal itu berdasarkan tiga indikator yakni puas, tidak puas, dan tidak tahu.
- Bambang mengungkapkan kajian tersebut dalam acara diskusi publik bersama media dan pemantau pemilu dengan tema Persiapan dan Tantangan Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 yang diadakan oleh Bawaslu, di Media Center Bawaslu, di Jakarta, Rabu (16/5/2021).
Menurut Burhanuddin dkk, 2019, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia, dengan kata lain politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam Pemilu Indonesia.
Hal ini sejalan dengan temuan Bawaslu dan berbagai lembaga survei terdapat kasus politik uang yang terjadi pada Pemilu serentak tahun 2019 antara lain, Pertama 12 kasus dugaan politik uang yang terjadi pada masa tenang tanggal 14 sampai dengan 16 April 2019 dan pada hari pencoblosan yaitu 1 kasus Kabupaten Ciamis, 1 kasus Kabupaten Kuningan, 4 kasus terjadi di Kabupaten Pangandaran, 1 kasus di Kota Bandung, 1 kasus di Kabupaten Indramayu, dan 4 kasus di Kabupaten Garut.
Kedua, menurut hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei tentang Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia, menyatakan bahwa terdapat 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7 persen menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.
- Celah Hukum Politik Uang Dari gambaran tersebut di atas, mari kita menelaah permasalahan dan celah hukum yang memungkinkan meningkatnya potensi praktek politik uang.
- Permasalahan tersebut memunculkan pelanggaran karena terdapat kelemahan dari segi aturan, pengawasan, dan sistem Pemilu yang membuka berkembangnya politik uang.
Berikut adalah beberapa permasalahan yang membuka peluang besar dalam berkembangnya praktik politik uang di Pemilu 2019 yaitu: terdapat Celah Regulasi Yang Menyebabkan Subjek Hukum Dapat Lolos Dari Jeratan Undang-Undang. Pertama, pada tahap kampanye dan masa tenang subjek pemberi uang diatur dalam UU Pemilu (UU No.7 Tahun 2017) hanya pelaksana, peserta atau tim kampanye.
- Pada tahap pemungutan suara subjek pemberi diatur lebih luas menjadi “setiap orang”.
- Hal ini akan berdampak kepada tidak terjeratnya pelaku yang diluar kategori pelaksana, peserta atau tim kampanye pada saat melakukan politik uang selama tahapan kampanye dan masa tenang.
- Sementara menurut Pasal 269 ayat (1), 270 ayat (1), (2) dan (3) pelaksana kampanye Pemilu adalah pengurus partai politik, calon anggota legislatif, juru kampanye Pemilu (mewakili partai/ calon), orang seorang dan organisasi yang ditunjuk partai politik.
Secara normatif, pelaksana kampanye inilah yang melakukan kampanye kepada peserta kampanye (masyarakat). Namun pada masa kampanye dan masa tenang, ketentuan ini tidak dapat digunakan menindak pelaku politik uang jika praktik politik uang dilakukan seseorang yang tidak terkait dengan pelaksana kampanye yaitu partai politik atau calon anggota legislatif (Pasal 84).
Keterbatasan norma hukum ini menyebabkan praktik politik uang marak terjadi pada masa sebelum pencoblosan dimana praktik politik uang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mungkin dijerat oleh pasal mengenai politik uang. Kedua, UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara penerima tidak diatur secra tegas.
Pada Pasal 228 UU Pemilu mensyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebagai landasan penerapan sanksi administrasi ke pada partai politik yang menerapkan mahar politik pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Selain itu UU Pemilu tidak mengatur tentang sanksi pidana terkait mahar politik.
- Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang syarat akan kepentingan politik, sehingga substansi UU Pemilu tidak sesuai dengan harapan.
- Etiga, penetapan presidential treshold (ambang batas) yang mengakibatkan kecendrungan partai politik melakukan negosiasi dan mengarah kepada mahar politik.
Presidential threshold akan menciptakan oligarki politik. Hal ini sejalan dengan pendapat Marli (2018), yang menyatakan bahwa syarat pencalonan harusnya lebih mudah dan terbuka karena akan ada lebih banyak calon alternatif sehingga dimungkinkan adanya muncul tokoh baru dan bisa menekan mahar pencalonan, pembatasan hak warga negara juga dapat dapat dilihat dari pembatasan dalam pencalonan.
- Eempat, adanya kelemahan dan keterbatasan regulasi Pemilu yang menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di kabupaten/kota untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu khususnya politik uang.
- Hal ini terkait dengan aspek hukum soal pembuktian politik uang yang mengharuskan Bawaslu memiliki bukti material berupa saksi pelapor, pihak pelaku politik uang dan alat bukti pendukung lainnya.
Tidak Teridentifikasi Transaksi pemberian uang terkadang tidak dilakukan calon secara langsung tetapi melalui perantara tim sukses atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan calon. Modusnya beragam seperti melalui acara pengajian, wiridan, PKK ibu-ibu di RT/RW di tingkat desa atau acara- acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon.
- Dalih yang paling umum untuk penyampaian pemberian uang atau barang adalah pengganti uang transportasi.
- Praktek pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas mengarah pada politik uang namun pembuktian hukumnya terkendala oleh konteks kejadian dan makna politik uang itu sendiri.
- Jika pemberian didalihkan sebagai ganti transporasi dan pada saat kejadian pembagian, sang calon tidak menyinggung visi, misi, dan tidak mengadakan ajakan untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian transportasi sulit didakwakan sebagai politik uang.
Situasinya demikian menyebabkan langkah penegakan hukum terpadu (Gakumdu) yang dilakukan bersama antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, sulit dilakukan karena kendala pembuktian hukum dari makna politik uang. Kendala lain adalah sulitnya Badan Pengawas Pemilu menghadirkan saksi.
- Umumnya orang yang mengetahui ada praktik politik uang tidak bersedia bersaksi karena khawatir menyinggung pelaku yang dikenalnya.
- Egagalan Badan Pengawas Pemilu dalam konteks Gakumdu dalam rangka membawa dugaan politik uang ke ranah hukum menjadi fenomena umum.
- Artinya, walaupun dugaan politik uang meluas dan menjadi pembicaraan luas masyarakat (pemilih), namun jika tidak didukung alat bukti yang secara hukum kuat (saksi, uang/ meteri, pelaku dan terpenuhinya aspek politik uang) maka Pengawas Pemilu tidak dapat melanjutkan ke aspek penuntutan yang lebih tinggi ke kepolisiaan atau kejaksaan.
Ketiadaan alat bukti menyebabkan penindakan hukum praktik politik uang gugur di tengah jalan. Sanksi Pidana dan Administratif Peraturan terkait politik uang dan mahar politik yaitu UU Nomor 10 Tahun 2016, dan UU Nomor 1 Tahun 2015 mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur, Walikota ataupun Bupati.
- Peraturan pada undang-undang Pilkada tidak hanya memberikan sanksi pidana kepada orang yang melakukan mahar, tapi juga administrastif.
- Pelanggar dilarang mengajukan calon kepala/wakil kepala daerah untuk periode berikutnya.
- Sanksi lain adalah pembatalan atas penetapan calon terpilih, kepala daerah yang dilantik.
Berbeda dengan itu, undang-undang Pemilu nomor 7 Tahun 2017, sanksi hanya sebatas pelarangan terhadap partai politik untuk mengajukan calon presiden pada periode berikutnya. Aturan itu tidak menyebutkan mengenai pembatalan pasangan calon, calon terpilih atau perberhentian Presiden atau Wakil Presiden yang telah dilantik.
Peraturan KPU nomor 22 Tahun 2018 tidak mengatur lebih lanjut tentang mahar. Seharusnya Undang-undang Pemilu dapat segera direvisi menyesuaikan dengan undang-undang Pilkada, setidaknya jika undang- undang tidak terbentuk, peraturan pemerintah bisa mengatur peraturan ini secara rinci. Jadi, aturan hukum harus direvisi untuk memperjelas sanksi hukum dan sanksi administrasi jika terjadi pelanggaran mengenai mahar politik ataupun politik uang.
Aturan ini juga harus lebih mempermudah pengawas untuk membuat alat bukti. Sesuai teori Von Feurbach, kriminalisasi yang disertai ancaman hukuman yang berat memberikan efek psikologis yang mencegah seseorang melakukan kejahatan serupa. FORTUNATUS HAMSAH MANAH Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur : Politik Uang dan Solusinya dalam Hukum
Lihat jawaban lengkap
Apa yang menyebabkan praktik politik uang marak terjadi?
Politik Uang dan Solusinya dalam Hukum Peneliti Senior Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Kompas Bambang Setiawan mengungkapkan hasil survei tahun 2020 kajian Litbang Kompas soal politik uang, mayoritas responden menjawab untuk tidak melaporkannya kepada pihak berwenang. “Mayoritas masyarakat tidak melaporkan praktik politik uang kepada pihak berwenang” ujar Bambang.
- Sementara mayoritas responden mengaku puas terhadap kinerja Bawaslu dalam mengawasi netralitas aparatur sipil negara (ASN).
- Hal itu berdasarkan tiga indikator yakni puas, tidak puas, dan tidak tahu.
- Bambang mengungkapkan kajian tersebut dalam acara diskusi publik bersama media dan pemantau pemilu dengan tema Persiapan dan Tantangan Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 yang diadakan oleh Bawaslu, di Media Center Bawaslu, di Jakarta, Rabu (16/5/2021).
Menurut Burhanuddin dkk, 2019, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia, dengan kata lain politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam Pemilu Indonesia.
Hal ini sejalan dengan temuan Bawaslu dan berbagai lembaga survei terdapat kasus politik uang yang terjadi pada Pemilu serentak tahun 2019 antara lain, Pertama 12 kasus dugaan politik uang yang terjadi pada masa tenang tanggal 14 sampai dengan 16 April 2019 dan pada hari pencoblosan yaitu 1 kasus Kabupaten Ciamis, 1 kasus Kabupaten Kuningan, 4 kasus terjadi di Kabupaten Pangandaran, 1 kasus di Kota Bandung, 1 kasus di Kabupaten Indramayu, dan 4 kasus di Kabupaten Garut.
Kedua, menurut hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengadakan survei tentang Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia, menyatakan bahwa terdapat 47,4 persen masyarakat membenarkan adanya politik uang yang terjadi dalam Pemilu Serentak 2019, dan 46,7 persen menganggap politik uang tersebut sebagai hal yang dapat dimaklumi.
Celah Hukum Politik Uang Dari gambaran tersebut di atas, mari kita menelaah permasalahan dan celah hukum yang memungkinkan meningkatnya potensi praktek politik uang. Permasalahan tersebut memunculkan pelanggaran karena terdapat kelemahan dari segi aturan, pengawasan, dan sistem Pemilu yang membuka berkembangnya politik uang.
Berikut adalah beberapa permasalahan yang membuka peluang besar dalam berkembangnya praktik politik uang di Pemilu 2019 yaitu: terdapat Celah Regulasi Yang Menyebabkan Subjek Hukum Dapat Lolos Dari Jeratan Undang-Undang. Pertama, pada tahap kampanye dan masa tenang subjek pemberi uang diatur dalam UU Pemilu (UU No.7 Tahun 2017) hanya pelaksana, peserta atau tim kampanye.
- Pada tahap pemungutan suara subjek pemberi diatur lebih luas menjadi “setiap orang”.
- Hal ini akan berdampak kepada tidak terjeratnya pelaku yang diluar kategori pelaksana, peserta atau tim kampanye pada saat melakukan politik uang selama tahapan kampanye dan masa tenang.
- Sementara menurut Pasal 269 ayat (1), 270 ayat (1), (2) dan (3) pelaksana kampanye Pemilu adalah pengurus partai politik, calon anggota legislatif, juru kampanye Pemilu (mewakili partai/ calon), orang seorang dan organisasi yang ditunjuk partai politik.
Secara normatif, pelaksana kampanye inilah yang melakukan kampanye kepada peserta kampanye (masyarakat). Namun pada masa kampanye dan masa tenang, ketentuan ini tidak dapat digunakan menindak pelaku politik uang jika praktik politik uang dilakukan seseorang yang tidak terkait dengan pelaksana kampanye yaitu partai politik atau calon anggota legislatif (Pasal 84).
- Eterbatasan norma hukum ini menyebabkan praktik politik uang marak terjadi pada masa sebelum pencoblosan dimana praktik politik uang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mungkin dijerat oleh pasal mengenai politik uang.
- Edua, UU Pemilu hanya mengatur larangan praktik politik uang kepada pemberi atau orang yang menjanjikan, sementara penerima tidak diatur secra tegas.
Pada Pasal 228 UU Pemilu mensyaratkan adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebagai landasan penerapan sanksi administrasi ke pada partai politik yang menerapkan mahar politik pada proses pencalonan presiden dan wakil presiden. Selain itu UU Pemilu tidak mengatur tentang sanksi pidana terkait mahar politik.
Hal ini mengindikasikan bahwa pembahasan dan penetapan peraturan perundang-undangan yang syarat akan kepentingan politik, sehingga substansi UU Pemilu tidak sesuai dengan harapan. Ketiga, penetapan presidential treshold (ambang batas) yang mengakibatkan kecendrungan partai politik melakukan negosiasi dan mengarah kepada mahar politik.
Presidential threshold akan menciptakan oligarki politik. Hal ini sejalan dengan pendapat Marli (2018), yang menyatakan bahwa syarat pencalonan harusnya lebih mudah dan terbuka karena akan ada lebih banyak calon alternatif sehingga dimungkinkan adanya muncul tokoh baru dan bisa menekan mahar pencalonan, pembatasan hak warga negara juga dapat dapat dilihat dari pembatasan dalam pencalonan.
- Eempat, adanya kelemahan dan keterbatasan regulasi Pemilu yang menjadi kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di kabupaten/kota untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu khususnya politik uang.
- Hal ini terkait dengan aspek hukum soal pembuktian politik uang yang mengharuskan Bawaslu memiliki bukti material berupa saksi pelapor, pihak pelaku politik uang dan alat bukti pendukung lainnya.
Tidak Teridentifikasi Transaksi pemberian uang terkadang tidak dilakukan calon secara langsung tetapi melalui perantara tim sukses atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan calon. Modusnya beragam seperti melalui acara pengajian, wiridan, PKK ibu-ibu di RT/RW di tingkat desa atau acara- acara sosial yang dikemas dengan kehadiran calon.
- Dalih yang paling umum untuk penyampaian pemberian uang atau barang adalah pengganti uang transportasi.
- Praktek pemberian uang dengan dalih pengganti transportasi jelas mengarah pada politik uang namun pembuktian hukumnya terkendala oleh konteks kejadian dan makna politik uang itu sendiri.
- Jika pemberian didalihkan sebagai ganti transporasi dan pada saat kejadian pembagian, sang calon tidak menyinggung visi, misi, dan tidak mengadakan ajakan untuk memilih dirinya, maka konteks pembagian transportasi sulit didakwakan sebagai politik uang.
Situasinya demikian menyebabkan langkah penegakan hukum terpadu (Gakumdu) yang dilakukan bersama antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan, sulit dilakukan karena kendala pembuktian hukum dari makna politik uang. Kendala lain adalah sulitnya Badan Pengawas Pemilu menghadirkan saksi.
Umumnya orang yang mengetahui ada praktik politik uang tidak bersedia bersaksi karena khawatir menyinggung pelaku yang dikenalnya. Kegagalan Badan Pengawas Pemilu dalam konteks Gakumdu dalam rangka membawa dugaan politik uang ke ranah hukum menjadi fenomena umum. Artinya, walaupun dugaan politik uang meluas dan menjadi pembicaraan luas masyarakat (pemilih), namun jika tidak didukung alat bukti yang secara hukum kuat (saksi, uang/ meteri, pelaku dan terpenuhinya aspek politik uang) maka Pengawas Pemilu tidak dapat melanjutkan ke aspek penuntutan yang lebih tinggi ke kepolisiaan atau kejaksaan.
Ketiadaan alat bukti menyebabkan penindakan hukum praktik politik uang gugur di tengah jalan. Sanksi Pidana dan Administratif Peraturan terkait politik uang dan mahar politik yaitu UU Nomor 10 Tahun 2016, dan UU Nomor 1 Tahun 2015 mengatur bahwa partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur, Walikota ataupun Bupati.
- Peraturan pada undang-undang Pilkada tidak hanya memberikan sanksi pidana kepada orang yang melakukan mahar, tapi juga administrastif.
- Pelanggar dilarang mengajukan calon kepala/wakil kepala daerah untuk periode berikutnya.
- Sanksi lain adalah pembatalan atas penetapan calon terpilih, kepala daerah yang dilantik.
Berbeda dengan itu, undang-undang Pemilu nomor 7 Tahun 2017, sanksi hanya sebatas pelarangan terhadap partai politik untuk mengajukan calon presiden pada periode berikutnya. Aturan itu tidak menyebutkan mengenai pembatalan pasangan calon, calon terpilih atau perberhentian Presiden atau Wakil Presiden yang telah dilantik.
- Peraturan KPU nomor 22 Tahun 2018 tidak mengatur lebih lanjut tentang mahar.
- Seharusnya Undang-undang Pemilu dapat segera direvisi menyesuaikan dengan undang-undang Pilkada, setidaknya jika undang- undang tidak terbentuk, peraturan pemerintah bisa mengatur peraturan ini secara rinci.
- Jadi, aturan hukum harus direvisi untuk memperjelas sanksi hukum dan sanksi administrasi jika terjadi pelanggaran mengenai mahar politik ataupun politik uang.
Aturan ini juga harus lebih mempermudah pengawas untuk membuat alat bukti. Sesuai teori Von Feurbach, kriminalisasi yang disertai ancaman hukuman yang berat memberikan efek psikologis yang mencegah seseorang melakukan kejahatan serupa. FORTUNATUS HAMSAH MANAH Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur : Politik Uang dan Solusinya dalam Hukum
Lihat jawaban lengkap